"Gue keren, ya, tadi Dhir?"
Dhira mendengus kesal mendengar perkataan santai lelaki di sebelahnya. Setelah adegan menangis bersama dan mereka mendapat ijin untuk menikah dari Rina, Dhira langsung mengajak Nadhif untuk segera keluar dari rumah dan pergi ke rumah Nadhif untuk kembali meminta ijin pada Nenek Nadhif. Tak ada alasan untuk mereka berlama-lama di rumahnya, lagipula meskipun ia melihat ibunya menangis meminta maaf padanya, itu tak lantas membuat Dhira menerima ibunya dan menjalin hubungan yang baik dengan ibunya. Rasanya Dhira malah ingin cepat keluar dari rumahnya itu.
Selain ia memikirkan ibunya, sekarang ada hal lain yang mengganggunya. Dulu saat masih sekolah, Dhira pernah beberapa kali mengunjungi rumah Nadhif dan bertemu dengan wanita tua yang sudah mengurus sahabatnya itu dari kecil. Dan pertemuan beberapa kali itu cukup untuk Dhira menyimpulkan bahwa nenek Nadhif bukan wanita yang bisa ditaklukan. Dhira yakin bahwa kehidupannya setelah ini tak akan berjalan lebih mudah.
"Nggak akan apa-apa, kok, Dhir." Ujar Nadhif tiba-tiba.
"Gue nggak kenapa-kenapa." Balasnya sambil berusaha mengontrol dirinya karena sejujurnya ia takut dengan apa yang akan terjadi sebentar lagi.
"Nenek bakal ngasih restu, kok." Nadhif menenangkan.
Dhira mengehela napas, "Ini nggak adil Dhif." Ia melirik ke depan ke arah supir taksi yang akan mengantar mereka ke rumah Nadhif. Rasanya Dhira ingin mengutarakan semua perasaannya, tapi ini bukan waktu yang tepat apalagi lelaki yang mengendari mobil itu tampak sesekali meliriknya.
"Kenapa?" Tanya Nadhif membuat Dhira berdecak pelan.
"Ini salah kita berdua. Tapi kenapa cuman gue yang takut buat ketemu nenek lo? Kenapa lo bisa sesantai itu, Dhif?"
"Gue juga takut, kok, Dhir." Balas Nadhif. "Lo pikir gue nggak takut ngehadapin nenek gue yang kayak mak lampir itu? Gue cuman mau berusaha tenang, Dhir. Gue nggak mau kecemasan gue malah bikin lo makin khawatir." Nada suara Nadhif meninggi tampak tak terima dengan penuturan Dhira sebelumnya.
"Nenek lo benci gue, kalau lo lupa." Dhira membetulkan duduknya dan menatap tajam supir taxi yang tampak meliriknya beberapa kali. Ia benci dengan orang yang selalu penasaran akan hidupnya.
"Itu dua tahun yang lalu, Dhir. It's okey, gue kenal nenek gue. Dan gue yakin walaupun nenek bakal ngamuk, tapi beliau pasti ngasih restu buat kita nikah."
Dhira menghela napas panjang sekali lagi. Mau seberapa keras Dhira menjelaskan pada Nadhif, lelaki itu tak akan mengerti. Ia tahu nenek Nadhif pasti akan memberi mereka restu, tapi itu tak bisa menjadi jaminan bahwa hidupnya akan berjalan dengan lancar.
Dhira memejamkan matanya berusaha untuk tertidur, tapi jantungnya berdegup kencang, merasakan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia masih tak menyangka bahwa akhirnya ia akan mengambil tindakan sejauh ini. Ia lalu membuka mata dan menatap Nadhif yang juga sedang menatapnya. Dhira tak tahu apa yang Nadhif pikirkan, tapi Dhira yakin bahwa apa yang Dhira rasakan juga Nadhif rasakan.
"Kita udah setengah jalan, Dhir, nggak ada kesempatan buat mundur lagi."
***
Sejenak Dhira menahan napasnya. Ia terdiam sambik menatap jari-jari tangannya yang saling bertautan. Tak ada respon apapun yang diberikan wanita tua di depannya setelah Nadhif membeberkan alasan mereka datang ke sini. Ia melirik Nadhif yang juga sama terdiam.
Meski ragu, Dhira mendongkakkan kepalanya dan menatap Nenek Nadhif. Ia ingin tahu ekspresi apa yang wanita itu tunjukan. Sesuai dugaannya, wajah datar tanpa ekspresi Nenek semakin membuat jantung Dhira berdegup tak jelas.
"Udah berapa bulan, Andhira?"
Sontak Dhira tersentak pelan mendengar pertanyaan itu, dengan gugup ia menjawab, "Jalan tiga bulan, Nek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Resiliensi | Seri Self Acceptance✅
Fiksi UmumAndhira tahu hidupnya sudah berantakan. Tapi, bukankah selalu ada kesempatan untuknya memulai hidup yang lebih baik? Dan ia tahu, bahwa kesalahan bukanlah akhir dari segalanya. There is no limit of strunggling. Cover by : canva