03

86 41 89
                                    


🌿Waspada, typo bertebaran dimana-mana kaya kenangan mantan.
Harap beritahu bila bertemu typo!🌿

Vote dulu, nanti lupa! ❤

(Revisi)

Welcome to chapter 3 ❤

03 Skara dan Ancaman

Mereka yang terluka tapi bertingkah seolah baik-baik saja, bukannya sok kuat atau semacamnya. Hanya saja mereka ragu untuk mengutarakan keadaan sebenarnya. Mereka takut pada pandangan orang terdekat yang terkadang menghakimi tanpa pernah mau memahami. Takut di anggap lemah dan takut isi hatinya hanya dianggap sebagai hal sepele yang tidak berarti❤

HAPPY READING❤

"Gue ngak segan-segan ngelakuin hal gila kalau sampai lo bergaul lagi sama sahabat lo itu!" tekan Kafka dengan tatapan lurus menatap jalanan. Ia tidak peduli pada Skara yang kini menangis di sampingnya dengan luka memar di pelipis. Kafka sama sekali tidak merasa bersalah, lelaki itu bersikap seolah ia tidak pernah melakukan apa-apa.

"Ska, lo jangan coba main-main sama gue. Gue udah suruh Keenan buat ngintai lo mulai sekarang," ujar Kafka lagi masih tidak menatap Skara yang kian terisak.

"Kalau lo mau hidup lo baik-baik aja, lo cukup dengerin semua omongan gue!!"

"Kenapa?" Skara bertanya dengan suara serak lirih. Terdengar helaan nafasnya berkali-kali, ia memiringkan tubuhnya menunggu penuh harap agar Kafka segera memberikan sebuah alasan padanya.

"Karena mereka cuma bawa pengaruh buruk!" balas Kafka melirik Skara dan kembali membuang mukanya agar fokus menatap jalanan yang mulai ramai.

***

"Sikap diam lo udah ngejawab semuanya Skara! " Alora membentak, ruang kelas yang hanya di huni oleh mereka bertiga seakan memancarkan suasana horor.

Alora, gadis taekwondoin itu sudah kehabisan kesabaran.

Skara menormalkam detak jantungnya dan menatap Alora tidak suka, "Mau Kafka dorong atau nusuk gue sekalipun, itu ga ada sangkut paut nya sama lo." Alora menggeleng tidak percaya. Namun satu hal, Alora mendadak tersenyum puas, "Semua kecurigaan gue terjawab. Kafka udah di luar kendali."

Skara menyeringai, "Terserah lo mau berpikir apa!"

Dalam hati Skara mati-matian memaki dirinya sendiri, ia sadar, ucapannya cukup membuat sahabatnya sakit hati, tapi mau bagaimana lagi?

Andai mereka tahu, sikap diam Skara adalah dampak dari rasa bersalah yang membuncah akibat janji yang semakin hari sering kali Skara langgar, tapi sungguh, rasa takut akan ancaman yang laki-laki itu utarakan benar-benar membuat Skara tidak bisa berpikir secara rasional.

"Apa ini ada hubungannya sama kemarin? Gue yakin, Kafka pasti udah ngelakuin sesuatu yang bener-bener bikin sikap lo ke kita berubah!" Alora berkata penuh keyakinan. Elsa mengangguk setuju, "Kalau tau gini mungkin kita gak bakal maksa untuk datang kemarin," tambah Alora seraya mengusap wajahnya frustasi, ia sedikit menyesal.

"Lo sahabat kita. Bahkan, waktu kita masih kelas IX, kira bertiga udah janji buat bagi perasaan suka duka tanpa ada yang di tutupin. Kita udah janji bakal saling bahu membahu kalau ada salah satu diantara kita yang dapat masalah." Elsa yang membuka suara. Nada bicaranya begitu serius, tatapan mata sendu. Terlihat jelas gadis berkacamata anti radiasi itu kecewa dengan sikap Skara yang seolah memisahkan diri sejak kemarin.

Ruang IngatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang