"Tak butuh kemampuan atau skill yang tangguh dalam mencapai sesuatu, cukup gunakan otak kita sebagai bahan pencapaian itu. Karena kemampuan tanpa berotak itu tak berguna."
- Baby Pungky
-----
Liffya menatap langit-langit kamar barunya yang hampir sama dengan kamar dulunya. Sesekali ia keluar, menuju balkon rumah barunya, melihat kendaraan yang berlalu lalang. Sepinyas ia berpikir mengapa hidupnya serumit ini, apakah akan lebih rumit lagi?
Hatinya kembali menangis ketika melihat bayangan ayahnya tengah memeluk seorang anak kecil, Liffya kecil. Namun entah kenapa air mata tetap tak keluar, melainkan hujan yang turun. Seakan mengerti keadaan gadis ini yang sangat buruk.
Angin malam berhembus, menjalar ke seluruh pori-pori kulit gadis cantik itu. Membiarkan rambutnya berdansa mengikuti arah angin menerpa. Bersamaan dengan jatuhnya rintihan tangisan awan. Sesekali ia memejamkan mata, menahan sesak di hatinya. Satu kata yang keluar dari lubuk hatinya.
Rindu
"Kamu belum tidur?" Sontak Liffya menoleh ke belakang.
"Be-belum ....... Yah." Liffya berkata gugup, dia ayah barunya, Firman. Entah kenapa saat ia memanggilnya 'ayah' terasa canggung.
Firman tersenyum simpul karena Liffya memanggilnya 'ayah'. "Tidur dulu ya, hujan. Nanti kamu sakit, besok kan hari pertama kamu ke sekolah. Kalau nggak masuk kan, nggak keren." Firman mengacak rambut Liffya pelan seraya tersenyum dan mengisyaratkan dagunya untuk ke kamar.
Liffya berjalan gontai menuju kamarnya, melewati kamar abang barunya, Ardian Satya Atmadja yang memang kamar mereka bersebelahan. Setelah masuk dan mengunci pintu, Liffya melompat ke kasur queen-sizenya yang bergambar leopard. Tujuannya bukan tidur melainkan mengusir rasa lelahnya, tapi akhirnya ia tertidur juga.
***
Brak brak brak!
Liffya tersentak kaget ketika bundanya menggedor-gedor pintu kamarnya. Alarm alami nih. Liffya menggeliat malas di atas nakas sembari mengucek matanya. Ia berjalan untuk membuka pintu. "Ada apa bun?"
"Cepat mandi, setelah itu sarapan. Anak perempuan jam segini baru bangun, mau jadi apa keluarganya besok," omel Yera sambil melangkah ke bawah.
Liffya menatap malas jam wekernya, jam 6 pagi. Dengan langkah gontai, ia menuju kamar mandi kamarnya, ya memang ada kamar mandi di setiap kamar.
Selesai, tanpa make up. Liffya hanya memoles bedak bayi tipis dengan rambut diikat kuncir kuda. Tak butuh liptint, bibirnya saja sudah pink murni. Ia menuruni anak tangga dan menuju meja makan untuk sarapan.
Tak ada yang memulai percakapan di meja makan itu. Hanya dentingan sendok yang terdengar. Diliriknya abangnya, cuek bebek. Kakaknya, canggung patung.
Gak asik banget sih, gerutu batin Liffya.
"Ayah, Satya berangkat dulu." Satya menyalami Firman dan Yera. Yera tersenyum lungga.
"Hati-hati ya, semangat sekolahnya."
"Iya bunda. Assalamualaikum." Mereka menjawab salam dari Satya, dan tanpa takut Liffya berkata enteng. "Terus kita bareng siapa, aku nggak bisa nyetir mobil."
"Sama Ayah, kepala sekolah disana itu teman Ayah. Ya sekalian ketemu."
"Ohh, yaudah ayo." Nada Liffya agak sinis.
"Liffya!"
"Iya bunda, maaf ya, Yah," sesal Liffya di lidah, tidak di hati tentunya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise (Slow Update)
Teen Fiction"Apapun yang lo minta gue turutin deh. Janji, asal lo mau maafin gue. Gimana?" ~ Allinsa Liffya - - - - - Semua berawal dari janji konyol nan aneh yang diberikan Darra pada Allin. Janji yang tak sengaja ia ucapkan bersama Darra (arwah) membuatnya ha...