Bab 3 Teror Abrahah di Perbatasan

25 3 0
                                    

Tahun 570 masehi.

Kota Mekkah menjadi gempar keesokan harinya, begitu mereka mengetahui pasukan Abrahah telah berada di perbatasan kota. Segala pekerjaan dihentikan dan semua orang buru-buru pulang, mengumpulkan barang-barang berharga, mengunci rumah, dan mengungsi bersama seluruh anggota keluarga ke gunung-gunung dan tempat-tempat lain yang mereka anggap lebih aman daripada tetap tinggal di dalam kota. Semua orang menunjukkan wajah cemas dan ketakutan, kota menjadi sangat kacau yang dimanfaatkan segelintir penjahat untuk menjarah harta orang lain. Suara tangis anak-anak bercampur jeritan dan teriakan orang-orang. Tak siapapun mampu bersikap tenang kecuali sedikit sekali.

Di rumah mendiang Abdullah bin Abdul Muthallib, Aminah binti Wahab yang sedang mengandung mendekati jendela ketika seorang perempuan berlari ke tempatnya menanyakan keberadaan sang pemimpin Mekkah.

"Dimana Abdul Muthallib?" tanya perempuan yang tampak cemas itu.

"Di rumahnya." Jawab Aminah tenang, tak tampak apapun di wajahnya selain terfokus pada bayi mungil di dalam perutnya.

Ketika perempuan itu pergi dengan tergesa, Aminah berjalan pelan di dalam ruangan rumahnya sembari mengelus-elus gundukan permukaan atas dari perutnya. Ia tampak bahagia seraya terus berbicara pada bayi di dalam dirinya, "Wahai bayiku, aku merasa kelak engkau akan menjadi seorang yang mulia. Dan aku merasa, engkau kelak hebat seperti ayahmu. Menjadi seorang lelaki yang agung, jadi panutan sepertinya."

Ketika Aminah asyik dengan dirinya sendiri, Fatimah binti Saad, istri Abu Thalib menemuinya untuk mengajaknya pergi mengungsi.

"Aku tetap di sini, Saudariku." Ia menolak dengan suaranya yang lembut dan penuh kebaikan. "Jangan khawatir, tidak akan terjadi apa-apa padaku."

Di jalanan Mekkah, penduduk kota memadati jalan-jalan dengan tujuan serupa; pergi meninggalkan kota menyelamatkan diri masing-masing. Di tengah arus manusia dan kepulan debu, Abu Thalib berdiri di antara manusia menjalankan perintah ayahnya, memastikan semua warga kota telah meninggalkan rumah dan mengosongkan kota sebelum pasukan Abrahah datang. Dari ujung jalan, ia melihat isterinya berlari-lari menemuinya, melaporkan keadaan Aminah yang enggan pergi.

"Berikan anakmu, jangan tinggalkan Aminah." Perintahnya sambil menggendong putranya. "Cepat susul dia."

Tak lama setelah Fatimah pergi, seorang pekerja ayahnya yang bertugas menggembala ternak di padang pinggiran kota, menemui Abu Thalib dengan wajah lebam dan sobekan luka di sudut matanya.

"Apa yang kau lakukan di sini? Ada apa dengan wajahmu?" tanya Abu Thalib.

"Pasukan Gajah memukulku. Mereka mengambil apa saja milik ayahmu," jelas lelaki malang tersebut.

"Apa mereka mendekati perbatasan Tanah Suci?"

"Ya betul. Mereka terus bergerak ke arah sini. Aku melihat mereka menyiksa orang-orang. Wahai Abu Thalib, dimana ayahmu?"

Tidak mungkin tidak cemas jika salah-satu pasukan terkuat abad ini mendekati kotamu untuk tujuan jahat. Abu Thalib buru-buru berkata kepada pekerja ayahnya, "Aku akan segera kembali."

Abu Thalib memasuki rumah persegi dari batu hitam dimana Abdul Muthallib sehari-hari berada di sana.

"Ayah, Ayah." Panggilnya dan mendapati sesepuh Mekkah itu sedang bekerja memperbaiki sambungan kayu yang longgar dengan memakunya. Tak terlihat sama sekali bahwa ia terganggu dengan kehadiran pasukan Abrahah di perbatasan.

"Ayah, dalam kegaduhan ini, kenapa anda tak pergi?" putranya mencemaskan Abdul Muthallib. Lalu menyampaikan pendapatnya, "Tak seorangpun dari kita yang akan berperang, aku menyerah dan tak mau perang. Selain itu, pasukan Abrahah telah menahan beberapa pembesar kita."

Abdul Muthallib berhenti dari kesibukannya selama putranya bicara, namun tangannya masih bertumpu pada pinggiran pagar yang menuju ke atap Ka'bah. Pelan ia berbalik dan bertanya pada putranya, "Dimana Aminah?"

"Dia ingin tetap tinggal. Aku telah mengirim Fatimah ke sana."

"Tolonglah orang-orang yang berada di sekitar Ka'bah. Dan orang-orang yang ingin pergi. Dan semua orang yang memerlukan bantuan. Carikan aku orang Habasyah untuk menemaniku menghadapi mereka." Kata Abdul Muthallib. 

MUHAMMAD Yang AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang