Melihat kebahagiaan di wajah ayahnya, Abu Lahab seperti ditinggalkan. Di tengah kerumunan manusia, ia merasa sendirian. Antara marah dan sedih ia meninggalkan tempat itu tanpa menoleh ke belakang lagi. Sementara di lantai dua rumahnya, istrinya menonton dengan perasaan campur aduk. Perempuan itu tak ingin menangis dan menyesali apapun, namun yang keluar dari mulutnya justru kata-kata penuh penyesalan.
"Aku tak menginginkan apa-apa lagi. Apapun, apapun, selamanya." Lalu melucuti semua perhiasan mahal yang selama ia kenakan dengan penuh kebanggaan. Sambil mengutuki apa saja, ia melemparkan cincin dan gelang-gelang di tangannya ke mana saja. Lalu kalung-kalung di lehernya, bernasib serupa.Air mata tumpah ruah di wajah perempuan itu. Seandainya saja ia dapat bertukar posisi dengan perempuan lain yang kini sedang berbahagia, maka akan ia berikan apa saja yang menjadi miliknya. Sayangnya itu hanyalah sesuatu yang mustahil, membuat Jamilah menjadi bertambah marah.
"Tsuwaibah! Tsuwaibah!" seseorang mengetuk kaca jendela, mencari budak perempuan Jamilah.
"Ada apa?" tanya perempuan itu melongok dari balkon.
"Bayi Aminah membutuhkan Asi Tsuwaibah," jelas si pesuruh yang dikirim Abdul Muthallib.
"Tsuwaibah nanti datang," kata Jamilah.
Namun kata-kata Jamilah hanyalah dusta belaka. Kemarahan dan kebencian menghalangi orang dari fitrah kemanusiaannya. Perempuan itu melakukan sesuatu yang jahat sehingga Tsuwaibah tidak berani lagi mendatangi rumah Aminah.
Meski kelaparan, bayi Muhammad tidak pernah menangis. Ibunya tersedu setiap kali memandangi wajah mungil yang sangat manis itu. "Kenapa kau tak menangis, wahai Anakku?"
Abdul Muthallib tidak pernah semarah hari itu ketika mendapati cucunya melewati hari tanpa Asi. Dengan murka ia mendatangi Abu Lahab di rumahnya. Ia semakin murka manakala mendapati anak laki-lakinya yang telah berubah sangat jahat itu tengah berendam di kolam air dingin di tengah cuaca musim panas. Ia tampak bersenang-senang sementara cucunya sedang kelaparan.
"Ayah," sapa Abu Lahab melihat kemunculan sang ayah.
"Tinggalkan kami!" perintah Abdul Muthallib pada pembantu anak lelakinya.
"Dia tuli, tak kan mengerti perbincangan kita." Kata Abu Lahab.
"Tapi kau mengerti, kan?" sindir Abdul Muthallib telak.
Dengan isyarat, Abu Lahab menyuruh pembantunya pergi.
"Keponakanmu hampir mati kelaparan dan kau tega membiarkannya begitu?" kata Abdul Muthallib tanpa tedeng aling-aling. Jika kita tidak segera menemukan wanita yang menyusuinya dia bisa mati. Kau punya budak yang punya Asi, tapi orang-orang bilang kau tak rela? Aku bersedia memberi dia uang untuk Asinya, atau aku beli saja budak perempuanmu itu?!
"Dia bukan budakku tapi hadiah untuk istriku," kelit Abu Lahab. "Dia takkan menjualnya dan anda tidak bisa membelinya."
"Budak istrimu?" saat itu muncul Jamilah di ambang pintu, hanya memandangi suami dan mertuanya saling berbicara.
"Ayah, istriku melarangnya. Walau anda juga dari keluarga kami. Aku juga tak akan menolak keinginannya."
"Apa kau tak malu? Jika aku jadi kamu, aku akan memberikan nyawaku." Semprot Abdul Muthallib. "Apakah anak-anak Umayyah memberimu? Apakah wanita dari anak-anak Aisyah yang kau nikahi memberi? Ataukah kau mengkhianati keluargamu sendiri? Apakah begitu? Dulu jika kau tak menuntut, aku tak kan menikahkanmu! Kenapa? Apakah kami tak pantas bagimu?"
Abdul Muthallib masih sangat marah setelah memuntahkan kata-katanya, sebab itu ia berniat segera pergi.
Namun ucapan Abu Lahab menahan langkah kaki tuanya. Anak laki-lakinya itu bertanya dengan sinis, "Apa yang kudapatkan dari keluargaku?"
"Kabil saja tak sebenci dirimu pada saudaranya. Dan kau tak menyayanginya, Abu Lahab!"
Setelah hari yangmenyedihkan itu, Abdul Muthallib tak pernah lagi muncul di rumah anak lelakinya yang durhaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUHAMMAD Yang Agung
Kurgu OlmayanDi langit dan di bumi namanya disebut penuh kerinduan dan cinta; Ia adalah manusia pertama yang diciptakan Allah ketika Nabi Adam masih dalam keadaan antara roh dan jasadnya . Untuknya Allah membuat perjanjian dengan semua Nabi sebelum Nabi SAW, bah...