Bab 7 Kelahiran Dengan Tanda Kenabian

12 2 0
                                    

Abdul Muthallib sedang bekerja membenahi atap Ka'bah ketika Cahaya Benderang itu menampakkan diri di hadapan seluruh manusia yang beruntung malam itu, menjadi saksi sejarah yang akan terus dikisahkan di kemudian hari. Sesepuh Mekkah itu segera menyadari sesuatu yang sangat penting dan luar biasa. Tergesa ia menuruni tangga, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan seumur hidupnya. Semua orang mengenal Abdul Muthallib sebagai sosok yang tenang, penuh charisma, dan bersahaja. Ia bagaikan air yang mengalir tanpa riak-riak, hanya ada kejernihan pada wajah dan ucapan-ucapannya yang saling meneguhkan karakternya yang unik dan mulia.

Namun malam itu sang sesepuh kehilangan ketenangannya, dadanya berdegup kencang dipenuhi perasaan yang tak terungkapkan. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, berhala-berhala di dalam Ka'bah jatuh bergelimpangan. Hal itu sangat mengejutkan karena terjadi begitu saja. Secara naluriah Abdul Muthallib merapat ke dinding kosong dimana tak terdapat patung di sana supaya tak tertimpa berhala-berhala yang ukurannya besar-besar.

Terlepas dari peristiwa hancurnya berhala-berhala, Abdul Muthallib melangkah keluar meninggalkan bangunan berbentuk persegi yang telah ia tinggali puluhan tahun. Namun baru saja kakinya berada di antara Ka'bah dan sumur Zam-zam, ia melihat sumur yang biasanya harus menggunakan timba untuk mendapatkan airnya, kini tumpah ruah melewati permukaan tepian sumur. Air Zam-zam yang tenang pun bergolak seakan hendak mencari jalan untuk menyapa seseorang yang selama ini telah dinanti-nantikan seluruh makhluk beriman di muka bumi.

Abdul Muthallib yang biasanya setenang air telaga perlahan mengikuti suara hatinya seraya melangkah pelan di jalanan lengang yang mengarah ke kediaman mendiang putranya, Abdullah. Rumah itu tampak sedemikian terang dan bersinar, tak pernah sebelumnya Abdul Muthallib mendapati pemandangan yang demikian. Seperti air Zam-zam, sumur di dalam jiwanya pun tengah bergolak. Perasaannya membuncah, bahkan sebelum ia tahu apa yang sebenarnya terjadi, kelopak matanya telah basah tanpa ia sadari.

Lelaki pemimpin Mekkah itu tak menahan dirinya lagi. Ia tak memikirkan apapun saat ia berlari-lari kecil ke rumah putranya. Abdul Muthallib hampir merasa pasti akan kelahiran cucunya, putra Abdullah yang agung. Namun betapapun ia ingin segera bertemu, di depan pintu ia mendadak berhenti. Masih terpesona oleh Cahaya Benderang di hadapannya, dan degup jantungnya yang kian kencang. Beberapa saat Abdul Muthallib memejamkan mata, mengatur nafas dan perasaannya yang campur aduk. Saat ia membuka mata, sekali lagi melihat sekitar, lalu dengan langkah khidmat memasuki rumah setelah melepaskan sandal yang ia kenakan di depan pintu.

Seakan-akan lelaki tua itu berada di dunia yang berbeda ketika jarak antara dirinya dan bayi mulia yang baru saja dilahirkan semakin dekat. Pelan dan pelan ia melangkah dengan pandangan terpaku pada jendela yang menampakkan kamar tidur Aminah dan bayinya. Ada beberapa wanita di sana, mengelilingi sang bayi. Dan cahaya terang yang meliputi keberadaannya, serta aroma semerbak yang berasal dari wewangian surga. Wangi-wangian yang terasa asing namun sangat menenangkan siapa saja yang beruntung menghirupnya. Saat itulah tangis Abdul Muthallib pecah. Air mata yang coba ia tahan kini berhamburan keluar membasahi pipi dan janggutnya. Sambil terisak sendiri ia berbisik, "Sungguh kabar itu benar adanya."

Hari-hari menjadi sangat indah bagi Abdul Muthallib sejak kelahiran cucunya. Ia mengundang semua orang, terutama kaum fakir miskin, makan-makan di rumahnya.

"Beri semuanya makanan!" serunya pada semua orang dalam keluarganya yang sedang menjamu orang-orang. Sementara ia terus membagikan piring-piring berisi makanan dari tampah lebar yang dipegang Abu Thalib yang selalu berada di sisi ayahnya.

"Di sini sudah kebagian semua," kata Abbas yang berkeliling membantu mereka membagikan makanan.

Saat itulah lewat Abdul Uzza, Abu Thalib menyapanya. "Selamat datang, wahai saudaraku."

"Apakah kalian membagikan makanan lagi?"

"Kau tentu tahu bagaimana Ayah, kan?"

"Apa yang kalian lakukan ini adalah perbuatan bodoh. Aku tak akan pernah mau duduk dan makan bersama orang-orang ini."

MUHAMMAD Yang AgungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang