Bertiga mereka pergi ke tempat Abrahah, dengan mengendarai unta yang mampu berlari cepat. Melihat kemunculan tiga orang itu, pasukan berkuda Abrahah segera menyambut dengan lengkingan suara khas orang-orang Afrika ketika merasa akan mendapatkan buruan yang menarik. Dalam sekejap pasukan itu mengurung keberadaan Abdul Muthallib, Abu Thalib, dan seorang penerjemah kulit hitam yang telah lama tinggal di dalam kota.
"Namaku Abdul Muthallib, Pemimpin Mekkah." Kata sang sesepuh Mekkah kepada pengawal Abrahah.
Setelah penerjemah bicara, pengawal Abrahah menanggapi, "Abdul Muthallib, Pemimpin Mekkah? Mari!"
Di dalam tendanya yang mewah, Abrahah sedang duduk mencuci tangan setelah menikmati hidangan. Para pelayan kemudian membantunya mengenakan busana kebesaran dan topi mahkota khas para raja Afrika. Lalu ia duduk di atas singgasana sementara Abdul Muthallib tetap berdiri tanpa menunjukkan sedikitpun rasa gentar.
"Dalam hidupku ini, aku banyak melakukan berbagai macam kesibukan. Namun tidak pernah kualami seperti hari ini dalam penaklukan. Sesungguhnya orang-orang yang kudatangi memohon agar aku mengasihani mereka, lalu aku mengasihaninya. Sebagian dari mereka ingin memerangimu. Sebagian dari mereka menginginkan peperangan menentangku. Aku ingin engkau sekarang meninggalkan sesembahanmu dan tunduk kepadaku. Namun jika menolak, maka aku akan menghancurkan Rumah sucimu itu dan rumah-rumah kalian semua! Aku beri kau waktu untuk memutuskan!" demikian pidato panjang Abrahah di hadapan Abdul Muthallib sambil tetap duduk dengan gaya angkuh di atas singgasananya.
"Aku hanya mempunyai permohonan..." tiba-tiba Abdul Muthallib bersuara dengan caranya yang mengejutkan Abrahah. "Semua pasukanmu pergi dari sini. Dan jika tidak segera pergi maka aku tidak akan memberikan kalian apa-apa. Aku ingin kau meninggalkan keluargaku dan rakyatku."
Pada saat ini, Abrahah yang tadinya duduk sebagaimana seorang raja menduduki singgasana kebesarannya, tampak tidak yakin dengan pendengarannya sendiri. Ia berdiri dan mulai bertanya-tanya, apakah ia salah mendengar atau pemimpin Mekkah yang hanya ditemani dua orang itu telah berubah tak waras? Jadi, untuk memastikannya, Abrahah berjalan hingga berhadapan secara langsung, bertemu muka dengan jarak terpendek yang belum pernah ia lakukan ketika berbicara dengan musuh-musuhnya.
Setelah yakin dengan pendengarannya, Abrahah yang setengah murka namun juga takjub melihat charisma seorang Abdul Muthallib yang sangat jarang ia temui sosok serupa dengan pemimpin Mekkah itu, kemudian bertanya dengan nada sarkastis, "Kau ingin kami meninggalkan kalian tanpa mendapatkan apa-apa?"
Abdul Muthallib mengangguk, hanya mengangguk, tanpa ekspresi berarti di hadapan seorang raja penakluk dan mesin pembunuh yang terkenal di seantero bumi.
"Kau telah merendahkanku, wahai Pemimpin Mekkah. Kau ingin Raja Pasukan Gajah mengampuni mereka dan kau ingin aku meninggalkan kotamu tanpa aku hancurkan?" Abrahah mulai bersikap mengancam.
"Sesungguhnya aku tak butuh belas kasihmu," sergah Abdul Muthallib yang sontak membuat putranya hendak menahan sang penerjemah mengucapkan apa yang terlanjur dikatakan. Kemudian ia mendengar ayahnya berkata, "Aku hanyalah penggembala unta-untaku. Kota ini dan Ka'bah aku pasrahkan kepada Tuhanku."
"Aku adalah Abrahah Sang Raja dan semuanya harus tunduk kepadaku." Potong Abrahah dengan suara tinggi. "Tidak ada yang bisa menentangku! Aku menguasai kota-kota besar dengan perintahku. Hanya dengan satu tembok dari tembok kamarku, aku mampu membeli Mekkah seluruhnya! Jawablah, wahai Pemimpin Mekkah..."
Abu Thalib yang berdiri di belakang ayahnya menjadi sangat khawatir. Sejauh ini ucapan ayahnya yang tanpa intonasi bagaikan angin sepoi-sepoi sebelum badai datang menerjang. Lalu ia melihat kemarahan Abrahah mereda digantikan ekspresinya yang penuh rasa ingin tahu tentang Mekkah.
"Jawablah wahai Pemimpin Mekkah, mengapa orang-orang mendatangi Ka'bah dengan berhaji terus-menerus? Ada apa dengan Ka'bah? Dan mengapa orang-orang dari berbagai bangsa datang kemari? Apa rahasia dibalik Ka'bah?"
"Aku tak tahu ada rahasia apa di dalamnya. Yang aku tahu hanyalah Ka'bah dibangun dari batu. Tak ada seorangpun penguasa, raja, ataupun yang lain menyebarkannya." Jawab Abdul Muthallib masih dengan ekspresinya yang setenang air mengalir. Ledakan 'gunung api' Abrahah tak berarti apa-apa baginya.
Dengan marah Abrahah memperingatkan, "Kalau memang begitu, cukup sampai di sini perbincangan kita. Berhati-hatilah kau!" kepada pembantunya Abrahah memberi perintah, "Beri orang ini apa yang ia inginkan."
Lalu Abrahah berbalik pergi, namun belum mencapai singgasananya ia menoleh lagi dan berkata kepada Abdul Muthallib, "Perhatikan aku baik-baik. Aku akan berbuat sesuatu kepada keluargamu dan kotamu yang indah ini dengan menguburnya!"
Abdul Muthallibpulang dengan membawa kembali unta-untanya yang dirampas pasukan Abrahah.Putranya merasa sangat lega, dihelanya nafas sekali lagi. Abu Thalib menyayangiayahnya melebihi nyawanya sendiri, betapa senangnya ia karena Abrahah simonster pembunuh itu tak melakukan apapun kepada Abdul Muthallib. Meskipun,kebaikan raja Himyar itu hanyalah soal waktu belaka sampai tiba waktunya iamenjalankan rencana-rencana jahatnya terhadap Ka'bah dan Tanah Suci.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUHAMMAD Yang Agung
Non-FictionDi langit dan di bumi namanya disebut penuh kerinduan dan cinta; Ia adalah manusia pertama yang diciptakan Allah ketika Nabi Adam masih dalam keadaan antara roh dan jasadnya . Untuknya Allah membuat perjanjian dengan semua Nabi sebelum Nabi SAW, bah...