Bagian 8

4.5K 202 1
                                    

#Air_Mata_Pernikahan

Bagian 8

Aku mencoba tenang dan memutar otak. Memilih diam agar tubuh mereka tak semakin merapat. Kuedarkan pandangan ke luar, pohon dan bangunan seperti berlari pertanda mobil ini dalam kecepatan tinggi.

Akhirnya mobil ini berhenti juga, aku menghela napas mencoba meredakan kegugupan. Mengulang dan meyakinkan rencana yang telah tersusun di kepala.

Si Tua berkepala botak menyeretku ke luar. Aku menurut, dan memperhatikan sekeliling, sepi. Bangunan seperti toko kelihatan sangat jarang, selebihnya tanaman dan hutan lindung membentang di timbal balik jalan raya. Mereka  membawaku ke sebuah bangunan tua di pinggir kota.

Ya, Tuhan. Aku akan minta tolong sama siapa?

Dan bangunan ini? Aku menatapnya ngeri. Kalau seandainya mereka membawaku masuk, maka takkan pernah ditemukan lagi. Bahkan seandainya mati sekalipun.

Piskopat itu akan sangat marah karena aku tak mengindahkan ucapannya. Sedang  apa dia sekarang, apakah sudah tahu kalau aku kabur?

Aku meringis, membayangkan kenyataan bahwa Tuhan menjabah doaku dengan cara seperti ini. Kami takkan bertemu lagi.

Dua dari mereka membuka gerbang bangunan itu, menghasilkan bunyi yang tidak enak sama sekali di telinga. Sedangkan yang berkepala botak masih menyeret tanganku.

Ayo lakukan, Yura!

Buk!

Sebuah tendangan yang kuayun sekuat tenaga mendarat di kemaluan pria itu. Ekspresinya sangat kesakitan sehingga genggamannya terlepas. Aku kemudian lari.

"Kejar!"

Sial, si botak itu menyadarkan temannya yang lain dan mereka langsung mengejarku.

Aku berlari secepat mungkin memilih memasuki hutan lindung, mencari tempat aman untuk sementara dan menghubungi seseorang dan minta pertolongan.

Akhirnya mataku tertuju pada sebatang pohon yang lumayan besar, segera berlari ke sana dan bersembunyi di baliknya.

Dengan ngos-ngosan, aku meraih ponsel dari dalam saku, sesekali mengintip ke balik pohon melihat para penculik itu kebingungan.

Sial, nomor Yana dan Rio tidak diangkat, padahal sudah berkali-kali kutelfon. Sementara penculik itu sudah mulai mendekat, mereka akan menemukanku sebelum sempat minta bantuan.

Ayolah, Yura. Hubungi seseorang.

Disaat genting begini mereka tak bisa dihubungi baik Yana atau pun Rio. Apa aku harus meminta bantuan Ade. Ya ampun, aku kabur darinya dan sekarang meminta bantuannya. Tidak mungkin!

Tidak ada jalan lain, aku harus menghubungi piskopat itu. Dia pasti akan menolongku, bukan? Semoga saja. Dengan sedikit bimbang aku mulai mengetik pesan.

[Tolong aku] Pesan terkirim.

Aku memejamkan mata, menyandarkan kepala ke batang kayu, jantungku berdebar, terasa dikejar malaikat kematian.  Ponsel di tangan nyaris terbanting karena deringnya yang membuat terkejut. Dengan gugup kugeser layarnya, melirik  para penculik mulai mendekati pohon tempatku bersembunyi. Sepertinya mereka mendengar ponsel yang berdering.

"Kamu di mana?" Pertanyaan tanpa basa-basi membuatku menghela napas, sakit hati kenapa harus dia yang lebih dulu menghubungi.

"Dengar, aku diculik ketika hendak ke rumah Yana tadi. Sekarang penculik itu sedang mengejar, aku sedang bersembunyi di balik sebatang pohon. Aku akan share lock. Jangan telfon lagi atau penculik itu akan menemukanku."

#Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang