Bagian 2

7K 221 4
                                    

"Apa-apaan, sih?" Sekali sentakan tangan Yana terlepas.

"Tidak ada masalah, kenapa pakai nyeret segala!" Aku menatap tajam Yana, harus bisa membuat dia tak jadi memeriksa punggungku.

Dia tidak boleh tahu, paling tidak untuk saat ini.

"Pokoknya aku ingin memastikan."

Sejengkal lagi tangannya menyentuh bajuku, sebuah suara bariton yang dingin menghentikan.

"Yura?"

Aku membeku dengan napas tercekat. Sekilas melihat ke arahnya yang menatap datar. Seluruh otot-ototku mendadak tegang, aku mirip seorang yang divonis mati.

"Bang Ade, untung sudah pulang." Yana tersenyum ceria, kelegaan di matanya membuatku semakin menderita.

"Ada apa, Yana. Kenapa tadi kelihatan sangat serius?"

"Kak Yura, kesakitan ketika aku peluk, jadi aku sangat penasaran apa yang terjadi dengan punggungnya. Tapi karena sudah ada Bang Ade, aku serahkan semuanya pada Abang. Tolong, ya, pijit pundak kakakku kelihatan dia kelelahan."

Apakah Yana tidak melihat, perkataannya disambut dengan seringai mengerikan oleh Ade. Ya, dia memang orang yang pandai memanipulasi, semua akan terkecoh oleh rautnya. Termasuk aku, sebelum menikah dengannya.

"Tenang saja, serahkan semuanya padaku. Kakakmu ini memang sedikit manja." Dengan santai dia meraih bahuku dan memeluk erat. Kurapatkan gigi menahan sakit dengan tangan mencengkram ujung baju, kepala mendadak pusing. Aku harus tetap sadar, paling tidak sampai Yana pergi.

Kuatkan aku Tuhan.

Alis Yana terangkat melihat  tangan Ade yang melingkar di bahuku. Sejurus kemudian dia tersenyum, ada secercah kekecewaan yang tak kentara di binar matanya. Mata yang tak tahu apa-apa itu.

"Mentang-mentang sudah bersuami tak mau lagi aku peluk, ya, sudahlah, Kak. Aku harus pergi."

Kemudian sunyi, Yana dan Ardi sudah berlalu. Entah sampai kapan aku bisa melupakan raut sedih Yana. Seandainya aku bisa bercerita. Tidak, aku takkan bercerita, tidak pada siapapun.

"Yana sedikit merepotkan, untung dia segera pindah. Kamu bisa berekspresi dengan suaramu yang keras" Seringaian itu  kembali membuatku merinding.

"Katanya kamu mau pulang malam?"

Aku harus bisa mengajaknya bicara, agar suasana hati ini bisa sedikit lebih santai.

"Bercanda, sebaiknya kamu menyiapkan makan malam, tubuhmu memerlukan itu," perintahnya tajam.

Ukh! Aku gemetar, lagi dan lagi.

Kalau saja dia tidak mempedulikan tentang makan dan kesehatanku, mungkin aku sudah mati. Di umur seminggu pernikahan yang membuat shock.

Bagaimana tidak? Malam pengantin impianku adalah romantis. Berciuman dalam bisik mesra. Saling memuaskan satu sama lain. Nyatanya ranjang malam pertama itu menjadi saksi jerit kesakitan. Aku kehilangan perawan dengan menyedihkan.  Dia menjambak rambut dan memukulku, lalu dia terkulai dengan seringai kepuasan.

Oh, Tuhan. Aku takkan bisa melupakan itu. Tidak akan.

Aku berhasil menyiapkan menu makan malam. Gulai ayam dan sayur bayam. Sayur bayam adalah menu wajib, kalau tidak ada dia akan menghukumku.

Dia duduk di kursi meja makan, matanya menatap tenang, dan aku membalasnya takut-takut.

Ya, memang tidak seharusnya seorang istri takut pada suami, tapi ini terjadi padaku

"Cuma ini?" Dia menatap hidangan di atas meja.

"Iya, cukup untuk kita berdua," jawabku memainkan jemari di pangkuan.

#Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang