Part 9

2.9K 66 4
                                        

Bagian 9

Semuanya seperti bayang-bayang samar. Nampak wajah Ayah dan Ibu begitu ceria menceritakan betapa sangat berbahagia kalau aku akan menikah, sudah kaya, baik pula. Tadinya mereka sangat khawatir Yana akan mendahuluiku secara dia yang terlebih dahulu memperkenalkan calon suami.

Lalu Yana, dia tersenyum bahagia mengetahui siapa calon suamiku. Katanya orang pendiam seperti Ade memiliki cinta yang besar. Dan dia punya cara paling romantis untuk mengungkapkan cinta.

Kemudian bayangan berganti lagi, dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Siksaan, keguguran dan kabur.

Ade menatap dengan berang di tangannya menjuntai ikat pinggang. Aku meremas seprai dan ikat pinggang itu melayang.

"Tidak!"

"Kakak!"

Kaget bukan kepalang, mendadak sesak napas, menggapai mencari pertolongan. Aku melihat Yana yang dilanda kepanikan, adikku itu, matanya kelihatan sembab, dia berteriak.

"Dokter, Dokter!"

Kemudian mereka datang membawakan oksigen dan memasangkan alatnya untuk membantu menghilangkan sesak yang melanda. Napasku mulai stabil lalu mulai mengenali seliling.

Ruangan serba putih yang dingin, aku di rumah sakit. Ternyata aku masih hidup. Siapa yang menyelamatkanku? Kedua pahaku ngilu sepertinya diperban begitu juga kedua bahuku.

"Kakak sudah aman." Yana berbisik di telingaku.

"Aku akan ke luar beli makan, Bang Ade akan menemani Kakak di sini."

Apa? tidak!

"Dia menyesal karena datang terlambat dan kakak sudah terluka. Aku benar-benar minta maaf karena tidak mendengar dering ponsel saat Kakak menghubungi. tapi syukurlah Kakak selamat. Aku benar-benar berhutang budi pada Bang Ade." Sejenak Yana mengusap kepalaku dan beranjak, jadi Ade yang menyelamatkanku.  Sekarang aku berhutang nyawa padanya.

Kemudian Ade duduk di kursi dekat kepalaku. Dia kaku seperti biasa dan sorot matanya itu tetap tak terbaca, rahangya mengetat ketika aku meringis, bahuku nyeri.

Dia terus saja menatap dan itu membuat jengah entah kenapa pipiku menghangat, memalukan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Lalu dia mencondongkan tubuh berbisik di telingaku.

"Kita akan bicara, setelah sampai di rumah."

Tentu saja, kita memang harus bicara. Dia harus menceraikan aku karena sudah ada wanita lain, yang mungkin bisa jadi pasangan serasinya. Dia takkan memerlukan aku lagi sebagai pelampiasannya. Semoga saja semua berjalan lebih baik ketika masa perceraian itu tiba.

Beberapa hari di rumah sakit lumayan melelahkan, aku harus taranfusi  karena kehilangan banyak darah. Yana dan Ade bergantian menunggui. Sepertinya mereka tak memberitahu ayah dan Ibu, itu memang lebih baik untuk kesehatan mereka berdua.

Menatap rumah ini dengan hampa, tak ada kebahagiaan di sini tapi malah takdirku kembali ke sini. Bi Marni membimbingku menaiki tangga diikuti Yana. Kurasakan tatapan Ade di belakang, dia benar-benar akan membunuhku.

Kamar ini, aku merindukan ini, tapi membenci penyimpangam itu. Seandainya Ade mencintaiku mungkin aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia.

Kurebahkan diri di tempat tidur, menutupi tubuh dengan selimut kemudian menutup mata, lega rasanya kembali ke sini.

Bi Marni dan Yana pamit, aku hanya mengangguk, tak mungkin menahan Yana di sini, dia juga punya suami yang harus diurus. Tak lama kemudian Ade masuk kamar, sekilas saling tatap dam aku memilih menutupi kepala dengan selimut.

#Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang