Bagian 6

5.5K 198 3
                                    


"Yura, kamu pulang sama Pak Ade?" Pagi itu kawan sekantor begitu heboh mengetahui aku pulang dengan Ade malam tadi.

"Iya, kebetulan rumahnya searah dengan tempat kossanku."

Ya ampun, aku juga tidak menyangka, semalam tanda kehidupan di dada berdebar terus seperti genderang mau perang.

"Dia bicara apa?" Yang lain pun ikut bertanya.

"Tidak ada, kami hanya bertukar nomor ponsel," senyumku sedih. Sedih karena dia tak jua menghubungi.

Tak kusangka esoknya Ade mengajak makan malam di sebuah restoran mewah. Ya, dia memang tak banyak bicara. Dia hanya menatap dalam dan aku tersenyum canggung.

"Apakah dia menciummu? Bagaimana rasanya?" Pertanyaan Maya salah seorang teman kantor membuatku terbelalak.

"Astaga, kami tidak sejauh itu," ucapku malu.

Maya memang orangnya blak-blakan dan mungkin hanya dia yang benar-benar tulus berteman denganku.

"Dia bahkan tidak menyentuhku sama sekali," desahku menggigit bibir.

"Waaa, kau pasti ...."

"Aku rasa ada sesuatu yang dia sembunyikan. Aku sering melihat rahasia itu berkelebat di matanya ketika menatapku."

"Dia memang penuh rahasia, auranya sedikit, mengerikan, tapi dia tampan." Maya membuat ekspresi mendamba di wajahnya dan aku tertawa. Saat itulah kutemukan matanya sedang menatap dan tawaku terhenti.

"Aku akan melamarmu." Dia berlalu setelah mengatakan kalimat itu kemudian Maya menjerit dan aku terkejut tak percaya.

Aku terbangun dengan perasaan gamang. Menatap langit-langit kamar yang bercat putih. Aku bersyukur menyadari masih dalam kamar. Tanganku nyeri, dan ingatan itu kembali sepenuhnya.

Ya, Tuhan. Untung aku tidak mati. Bagaimanapun mati bunuh diri akan membuat diri ini benar-benar masuk neraka. Pergelangan tanganku di perban.

Apakah dia memanggil dokter?

Kugerakkan badan untuk duduk menemukan matanya yang sedang menatapku tajam.

Entah apa yang ada di pikirannya itu, mungkin dia terkejut melihat keberanianku, atau bisa jadi dia semakin bergairah melihat darah berceceran.

Aku ingin pipis. Sementara tatapan itu seakan memakuku di tempat, sepertinya dia marah. Dia memang berbahaya kalau marah, terakhir dengan kemarahannya itu dia membunuh anakku.

Aku sudah tidak tahan, dengan hati-hati turun dari tempat tidur dan melangkah perlahan. Sekilas melihat, dan mata jahat itu masih mengawasi.

Dengan ketegangan yang masih sama aku kembali ke tempat tidur. Tapi sebelum sampai dia berdiri tepat di depan dan membuat terperangah. Aku tidak sedang siap untuk menghadapinya.

"Jangan coba-coba lagi mengulangi hal yang sama seperti tadi, kau ingin orangtuamu mati, ha?" geramnya.

"Aku akan melakukannya bila terdesak." Aku mendongak membalas tatapannya.

Bagus, Yura, kau harus belajar jadi kuat dan melawannya.

"Itu bisa membahayakanmu," bisiknya dalam.

"Kau lebih berbahaya dari pisau silet itu, Pak Ade," balasku tajam.

"Jangan membantahku!" bentaknya dan itu membuatku terkejut.

"Jangan membentakku!" balasku keras dan terlihat keterkejutan di matanya melihat reaksiku.

"Apa? Kau belum puas melihatku kesakitan? Atau nafsu bejatmu itu meningkat? Jangan-jangan kau memperkosaku tadi ketika pingsan! Kau benar-bengar ...."

#Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang