Bagian 5

5.3K 197 8
                                    

Lari, Yura! Lari!

Dia akan membunuhmu anakmu!

Lari, Yura, Lari!

Aku terbangun dengan nafas terengah, mimpi buruk. Dunia nyata maupun mimpi aku selalu tersiksa dan ketakutan.

Sudah siang dan dia sudah berangkat. Air mata kembali meleleh, perlakuannya tadi malam. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Tapi apa yang harus kulakukan?

Ketika hendak beranjak ke kamar mandi rasa sakit menghantam perut. Segera kusibakkan selimut dan melihat sesuatu yang hangat mengalir di pangkal paha. Darah.

Darah!

Aku panik, darahnya tidak berhenti. Teringat bahwa di rumah ini ada Bi Marni, dia pasti mau menolong.

Tuhan, selamatkan bayiku.

"Bi! Bi Marni!

" Bi, tolong!"

Tangisku menjadi, pikiran buruk menguasai. Aku tidak mau kehilangan bayiku, tidak mau.

"Bibi!" jeritku.

Ini semua gara-gara bajingan itu, lihat saja aku akan melakukan sesuatu yang membuatnya akan menyesal seumur hidupnya.

"Bibi!"

Apa tidak ada yang mendengar suaraku?

"Ada apa, Nyonya?" Akhirnya Bi Marni berdiri juga di depan pintu.

"Tolong, Bi, aku berdarah," jeritku panik.

Bi Marni terkesiap, dia mendekat dan matanya terbelalak ketika aku menyibakkan selimut, kecemasan jelas sekali terlukis di wajahnya.

"Apakah, Nyonya hamil?" tanyanya ngeri.

"Iya, tolong hubungi dokter, Bi." Aku memohon.

"Apakah tuan muda tahu?"

"Jangan hubungi dia. Hubungi saja dokter, atau antar aku ke rumah sakit." Aku mulai berteriak.

Jangan sampai piskopat itu tahu, atau dia akan berpesta melihat kesedihanku.

"Kita ke rumah sakit saja, Nyonya. Nanti naik taksi saja." Bi Marni kelihatan gugup dengan perintahku.

"Baiklah, bantu aku."

Dengan langkah sempoyongan aku ke kamar mandi. Berganti pakaian dan memakai pembalut. Darahnya banyak sekali aku nyaris mual.

"Bi, apakah anakku baik-baik saja?" Dengan cemas aku menggenggam tangan tangan Bi Marni.

"Kita berdoa saja, Nyonya," bisiknya membalas genggamanku, air mata terus saja mengalir dari tadi, aku takut dengan kemungkinan terburuk.

Taksi yang kami tumpangi berhenti di depan rumah sakit. Bi Marni memanggil perawat dan kemudian perawat itu mendorong kursi roda yang kunaiki menuju ruang perawatan.

Seorang dokter wanita mendekat, dia tersenyum ramah. Kemudian seorang perawat meletakkan semacam gel di perutku, lalu dokter itu menjalankan semacam alat, seperti mencari-cari susuatu di dalam sana.

"Jadi, apakah Nyonya terjatuh?" tanyanya setelah memeriksa perutku beberapa kali dengan alat itu.

"Hmm iya," jawabku.

"Darahnya banyak?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk.

"Maaf, Nyonya. Tapi aku harus memberi tahu bahwa Nyonya kehilangan bayi nyonya. Mengingat usia kandungan yang masih baru, jadi tidak cukup kuat untuk bertahan." Dokter itu menatap prihatin dan aku kembali terisak.

#Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang