bagian 10

4.9K 195 0
                                    

#Air_Mata_Pernikahan

Bagian 10

Entah berapa lama aku tertidur, yang jelas setiap persandian terasa kaku. Mungkin karena tidak bergerak sama sekali. Sudah siang, aku kehilangan waktu lagi. Dengan sempoyongan melangkah ke kamar mandi membersihkan diri.

Dengan rambut yang diikat asal kakiku menuruni tangga menuju dapur, rasanya sangat lapar dan tidak nyaman dalam perut.

"Nyonya, baik-baik saja? Tuan bilang kurang sehat." Bi Marni menyiapkan makanan, aku duduk lalu memiringkan kepala di atas meja, lemah sekali rasanya.

"Aku mual terus, mungkin karena makan mie semalam. Tolong teh manis ya, Bi," ucapku. Tak lama kemudian Bi Marni datang dengan secangkir teh manis lengkap dengan beberapa potong roti bakar.

Teh manis yang kuminum cukup menyegarkan, apa lagi beberapa potong roti bakar juga ludes masuk perut. Kenyang. Namun, rasa itu kembali datang, mual.

Aku berlari ke wastafel cuci piring, menyalan air kran dan muntah di sana, mengeluarkan teh dan roti bakar yang sempat kumakan. Bi Marni membimbing kembali ke meja makan, aku memilih memakan buah apel, semoga ini tak membuat mual.

"Aku akan ke kamar, Bi."

"Biar Bibi antar." Bi Marni memapah jalanku sempoyongan. Kenapa aku harus sakit sih? Padahal rencananya ingin membahas perceraian.

"Maaf sebelumnya, Nyonya. Mungkinkah Anda hamil?"

Aku tertegun. Mengingat, Ade pernah meniduriku sekali sejak keguguran. Apa bisa hamil dengan sekali berhubungan?

Tak bisa kusembunyikan rasa cemas yang melanda. Tanganku meremas kuat seprai tempat tidur, pusing kembali melanda. Aku belum siap untuk hamil dan kehilangan lagi. Bagaimana kalau tiba-tiba iblis kembali merasuki Ade, dan dia akan memperkosaku sampai berdarah-darah. Tubuh ini menggigil dengan membayangkannya saja.

"Baiklah, Bi. Tolong belikan tes pack nanti. Dan aku mohon jangan beri tahu tuanmu." Sebaiknya memang dipastikan, itu akan memperjelas langkah apa yang akan kuambil. Semoga saja ini hanya masuk angin, semoga saja.

Bi Marni pergi setelah menyelimutiku, mungkin dia menebak apa yang sedang kupikirkan. Tatap kasihannya tenggelam oleh rasa sayangnya pada piskopat itu.

Yana, aku harus menghubunginya, sudah saatnya aku menceritakan semua. Tapi tak punya ponsel. Dengan menguatkan diri aku mengganti pakaian, ya aku harus ke sana sekarang. Beruntung Yana sempat memberikan alamat rumahnya ketika mengantarku pulang dari rumah sakit beberapa minggu lalu.

Sepi, sepertinya Bi Marni sudah pergi ke luar, ini kesempatan. Aku melangkah cepat. Irwan dan seorang laki-laki yang berseragam  sama berdiri menyambutku di gerbang, uh, firasatku buruk.

"Aku mau lewat, tolong buka gerbangnya," perintahku dengan tangan memijit kening, rasanya semakin pusing.

"Maaf, Nyonya. Tuan tidak memperbolehkan kami membiarkan anda ke luar."

"Ini penting, aku akan segera kembali," bujukku gemetar menahan gelombang emosi yang mendadak muncul menyadari aku benar-benar di penjara.

"Maaf, Nyonya." Satpam itu menunduk.

"Kalau begitu hubungi tuanmu aku akan bicara dengannya." Kalau saja tubuhku sedang tidak sakit akan kuterbos saja penjagaan ini.

"Ini Tuan, Nyonya." Irwan menyerahkan ponselnya, tanganku bergetar menerimanya.

"Aku ingin ke rumah Yana, tolong suruh mereka membuka pagar rumahmu," ujarku menggertakkan gigi.

"Itu juga rumahmu," ralatnya penuh ketenangan seperti biasanya.

#Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang