Bagian 7

5.1K 184 4
                                    

"Ya, tolong selamatkan aku."

Tatapan Edo berubah menjadi tegang, humornya lenyap begitu saja mungkin tak menyangka aku akan mengatakan itu. Matanya berpaling ke arah Ade yang mulai memangkas jarak di antara kami.

"Jangan terpengaruh olehnya, dia lebih berbahaya dariku. Dia memakai silet ketika memuaskan diri."

Aku terkesiap, menatap ke arah Edo cepat dan Ade tertawa jahat.

"Jangan percaya kata-katanya," sungut Edo menyeringai.

Aku melangkah mundur, menyadari mereka mungkin sama saja yang dianggap gurauan bisa jadi itu kebenaran.

"Kalian berdua sama saja." Aku berbalik dan melangkah cepat menuju kamar.

Benar-benar sial, aku terjebak dalam ketidak normalan. Apa benar Edo itu memakai silet, kalau iya itu jauh lebih mengerikan. Kasihan wanita yang pernah bersamanya.

Aku harus mencari cara untuk bisa lepas dari semua ini. Aku harus kabur.

Berpikirlah, Yura!

Bagaimana caraku kabur, ke mana dan uangnya.

Aku nyaris melopat ketika ponsel berdering dalam tas yang tergeletak asal di kasur. Keadaan ini benar-benar membuat gila!

"Halo, Ibu." Senang rasanya bisa memanggil wanita yang telah melahirkanku itu, sudah sangat lama tidak berkabar, sejak Ade membawaku masuk nerakanya.

"Halo, Nak. Bagaimana kabarmu?"

Seandainya aku bisa bercerita.

"Aku baik, Ibu dan Ayah bagaimana apakah sehat-sehat saja, lalu bagaimana belanjan harian, Ibu? Yana masih mengirimi Ibu uang, kan?" Aku memang belum pernah mengirimi mereka uang sejak menikah, dia tidak memberiku uang. Kalaupun ada sisa uangku itu tidak cukup.

"Sehat sekali, Nak. Iya, kiriman Yana dan kamu itu sudah lebih dari cukup."

Apa? aku belum pernah mengirimi Ibu uang.

"Maksud, Ibu?"

"Ya, kiriman kamu dan Yana sudah lebih dari cukup. Tadinya ibu menyangka kau takkan bahagia dengan Ade, karena firasat ibu orangnya sedikit berbeda, tapi ternyata Ibu salah."

Jadi, Ibu punya firasat rupanya.

"Kamu bahagia, kan?" Pertannyaan itu ....

"Ya, tentu saja, Bu," jawabku tak bersemangat.

"Ya sudah Ibu mau menyediakan makan siang untuk ayahmu, jaga diri, ya?"

"Iya, Bu."

Aku menatap lama ponsel yang sudah mati. Masih bingung dengan apa yang harus kulakukan. Penasaran dengan masa lalu Ade, yang kurasa lebih dari yang Rio ceritakan. Aku merasa cerita Rio belum lengkap. Semoga ada cela untuk bertanya pada Bi Marni.

Pintu kamar terbuka Ade muncul dengan raut seperti biasa, datar dan tanpa ekspresi. Dia langsung menuju meja kerja memeriksa beberapa map dan membawa salah satu bersamanya.

"Kau tak perlu mengirimu ibuku uang?" Tanganku meremas ujung baju, gugup dan takut.

Ayolah, Yura hilangkan rasa takutmu, mungkin dia menyakitimu tapi dia takkan berani  membunuhmu.

Langkahnya terhenti sejenak menghela napas kasar. Entah kenapa dia menikahiku kalau menjawab pertanyaanku saja seperti memikul beras berton-ton.

"Kau yang meminta sebelum menerima lamaranku." Kemudian dia pergi dengan membanting pintu.

Apa salahku, dia kesal karena aku bertanya?

Aku baru ingat, menjelang memutuskan  menerima es batu itu jadi suami, aku menceritakan tentang Ayah dan Ibu, kalau aku punya tanggung jawab mengirimi mereka uang tiap bulan.

#Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang