Bagian 4

6K 240 22
                                        

Aku tidak membayangkan kemungkinan ini. Aku benar-benar dalam masalah.

Matanya menatap tajam, kalau bisa mungkin dia ingin menghanguskan tubuhku.

Berbohong, Yura!

"Aku ... Mau ke tempat Yana. Tadi, dia menghubungiku."

"Koper itu?" Dia menggerakkan dagu menunjuk  ke arah koper.

"Hmmm rencananya, aku ingin menginap."

"Tidak minta izin padaku?" Matanya menyipit, dia tahu aku berbohong.

"Aku berniat melakukannya ...."

"Kau tidak pandai berbohong, Yura. Karena itu aku memilihmu," geramnya.

Tidak punya pilihan, aku menunduk meremas baju. Gelombang kekesalan menyeruak menahan tangis dan mataku mendadak penuh.

"Kembali ke kamar!"

Tanpa bicara apapun aku kembali menyeret koper ke kamar, dia mengikuti. Bisa kurasakan amarahnya menguar di setiap sudut rumah ini.

Memilih duduk di tepi tempat tidur. Menunggu vonis. Mencari cela di antara detik yang terus berlalu. Adakah yang bisa menolongku?

"Buka bajumu!"

Aku terisak.

"Sekarang!"

Ayo melawan, Yura!

Aku membuka kardigan dan menggantungnya di lemari, bahkan kalau seandainya ada perlawanan itu akan semakin membuatnya buas, seperti harimau.

Jangan, Yura! Sudah saatnya kamu melawan!

Aku buka baju kaus lengan panjang dengan gemetar, sekilas melirik ke arahnya yang sedang menyeringai menikmati pemandangan yang menyenangkan baginya.

"Aku tidak akan bermain kasar, hanya sedikit pelajaran!"

Lalu aku menjerit ketika dia menggigit dadaku dengan keras.

Aku meringis, sakit kali ini tak biasa. Dia tidak memukul atau menjambak, tapi dia menggigit di mana-mana. Paha, perut, dada, punggung tidak ada yang luput dari serangannya.

Dia sudah berpakaian kembali, saat ini matanya masih terfokus ke arahku. Sinar kelam dari netra itu tak terbaca, tapi aku yakin dia sangat puas melihatku meringis.

"Jangan mencoba-coba kabur, kau takkan suka dengan apa yang kulakukan!" ancamnya dengan mata menyipit.

"Apakah kau akan membunuhku? lakukan saja sekarang."

"Kau istriku, tugasmu memuaskanku."  Dia menatap datar tanpa ekpresi.

"Kau memperlakukanku seperti pelacur, Pak Ade. Bukan istri," geramku gemetar.

"Hati-hati dengan ucapanmu, Yura. Aku tak pernah melarangmu ke mana pun, kecuali kalau kau ingin kabur," tekannya.

"Memang begitu, kan? Aku takkan kabur kalau kau memperlakukanku dengan baik," sinisku.

"Hentikan, atau kau ingin aku menunjukkan bagaimana caraku memperlakukan pelacur?" bentaknya.

Aku memilih diam, karena piskopat itu bisa saja membuktikan ucapannya sekarang. Aku memilih memejamkan mata. Benar-benar kelelahan.

"Aku akan menempatkan beberapa pengawal di rumah ini agar kau tak berniat melarikan diri?"

"Pengawal?" Aku membuka mata menatapnya heran.

Memangnya dia raja pakai pengawal segala, dasar absurd!

"Satpam!" ralatnya kemudian menyambar tas kantornya dan pergi. Aku menghela napas lega, tapi sejurus kemudian kembali merutuki diri tak bisa menghentikan perbuatan amoralnya.

#Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang