Bagian 15

4.7K 157 6
                                    

"Apakah kau hamil, Yura?"

Aku nyaris tersedak mendengar pertanyaan itu.

"Tidak, tentu saja tidak." Semoga saja kali ini dia percaya pada ucapanku.

"Kau agak aneh belakangan ini."

Jadi, dia menyadarinya. Ya tuhan, aku mulai takut.

"Aku tidak mau hamil," tegasku tapi suara yang ke luar seperti surut ke dalam.

"Kenapa?" entah bagaimana reaksinya karena aku hanya berani menatap lantai tempat kakiku berpijak.

"Aku tidak ingin anakku besar tanpa ayah." Kali ini seperti keluhan yang menghiba. Astaga, aku sangat menyedihkan.

"Aku ayahnya, Yura," desisnya tajam.

"Suatu saat kita akan berpisah. Karena tidak mungkin bagiku untuk bertahan selamanya dengan laki-laki yang mencintai wanita lain." Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, agar dia tak melihat betapa frustasinya wajah ini.

"Yura ...."

" Aku lelah dan ingin tidur." Dia mengikutiku menuju kamar dengan kemarahan yang tertahan dan aku terus berdoa semoga jiwa psikopatnya benar-benar sudah pergi jauh.

" Aku takkan pernah melepaskanmu," desisnya tajam dan mungkin sedang mengamatiku yang meringkuk di bawah selimut.

Berdebat dengannya akan membuatku berakhir di bawah tubuhnya dengan penuh siksaan. Memang sebaiknya menghindari itu, jangan sampai aku kehilangan bayi ini lagi.

Lama, mata ini tak jua terpejam. Perasaan yang ada di dominasi kesedihan oleh banyak hal. Terutama yang satu itu, aku begitu rindu pelukannya.

Tak lama kemudian dia sudah berbaring di sampingku, tanpa suara dia tidur dengan membelakangi. Kesedihan yang tak biasa kembali merayap dan isakku terlepas.

Dia memiringkan badan menghadap ke arahku, dan menyibakkan selimut. Aku membatu tak bergerak, tapi tentu saja dia tahu kalau ini hanya pura-pura.

Tangannya yang lain bergerak menyentuh sisa air mata di pipiku, aku menggeleng lalu menyusupkan kepala ke dadanya. Hanya ini yang kuinginkan menjelang benar-benar pergi dari sini. Tubuhnya membeku sejenak tapi kemudian tangannya melingkari tubuh, sesekali kurasakan dia membenamkan wajah di rambutku.

Dengan dia melakukan itu aku merasa bahagia. Ya, dia bertingkah seakan-akan mencintaiku.

Bau yang sangat menyenangkan, dadanya yang bidang dan hangat. Tubuhku terasa ditelan begitu saja oleh tubuh gagah ini. Seandainya dia adalah suami yang mencintaiku.

[Kecuali kau bisa membuat dia jatuh cinta]

Potongan kata-kata Rio berkelebat diingatan. Ironis sekali malah aku yang jatuh cinta.

"Ada apa denganmu?" Terdengar gumaman Ade sebelum aku benar-benar tertidur.

***

Dia sudah siap berangkat kerja, sesekali melirik ke arahku yang masih bersila di tempat tidur dengan kedaan kusut. Malas bergerak, hari ini akan berlalu lebih bosan dari biasanya.

"Aku ingin pergi belanja," gumamku menghentikan gerakannya yang merapikan beberapa map masuk tas kantor. Dia menatap lama  sampai aku membuang pandangan ke balkon. Aku butuh tambahan baju untuk melarikan diri.

"Kapan?" Tanpa disangka dia bertanya.

"Nanti siang, berikan aku uang," pintaku menggigit bibir, aku menunduk meremas selimut dengan gemetar.

"Aku akan menemani, bahaya masih mengintaimu jadi aku tak ingin kau pergi sendirian dan merepotkanku."

Aku tetap menunduk dan dia pergi. Mata ini kembali menghangat, benar-benar sesak. Tentu saja aku akan berhutang satu nyawa lagi bila sampai menyusahkannya.

#Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang