Beberapa hari kemudian seorang penjaga mengambilku. Bukan untuk dibebaskan. Bukan juga untuk ikut dieksekusi. Dia membawaku ke sebuah ruangan dan tanpa ada yang menyuruhnya, tiga orang wanita memintaku untuk mandi serta berias.
Ini gila. Apa lagi yang akan kudapatkan sekarang? Aku sempat berfikir yang tidak-tidak tentang pria itu yang mungkin ingin mengulangi perbuatan bejatnya, namun penjaga yang membawaku tadi berhasil membuyarkan imajinasiku.
"Raja Gilgamesh memberi izin atas kebebasanmu dengan syarat kau pergi ke Hutan Arash, dan menemui Enkidu," tuturnya sebelum pergi meninggalkanku bersama para pelayan wanita.
"Enkidu?" gumamku sedikit keras.
"Monster yang menghuni Hutan Arash." Salah seorang dari mereka menjawabku. Ketika aku menoleh, wanita disampingnya menyikut. Memberi kode untuk diam. Tentu aku tidak bisa menyembunyikan tatapan penuh selidikku. Monster katanya? Jadi aku akan dieksekusi secara tidak langsung?
Lantas tiba-tiba seorang gadis yang paling muda menerjangku dengan pelukan eratnya. Aku terkesiap dan mulai kebingungan. Dia menangis tersedu-sedu tanpa kuketahui penyebabnya. "Kak Shamhat! Syukurlah kau baik-baik saja.... Aku sangat khawatir...!" katanya sambil merengek.
Untuk kedua kalinya aku mendengar kata Shamhat disebut. Apakah mungkin itu namanya?
Sementara itu, perempuan yang tadi menyikut temannya berpesan, "Syira, aku tahu dia sangat penting bagimu, tapi kau harus mengingat tugasmu."
"Maaf," ucap gadis ini setelah melepas pelukannya. Diusapnya air mata yang sudah membasahi pipi mungil itu lantas tersenyum paksa padaku. "Maaf, Kak, kami harus mematuhi perintah Raja Gilgamesh."
Mereka lalu mendekatiku. Menarikku serta membawaku ke bak mandi dan berusaha melepaskan pakaianku dengan paksa.
"Hentikan! Aku mengerti, jadi biarkan aku melakukannya sendiri! " bentakku kalut.
Meski kutegaskan demikian, mereka tetap tidak menggubrisku sama sekali. Hingga akhirnya kubiarkan saja mereka memandikanku. Ini menggelikan. Aku tidak pernah membiarkan orang lain menyentuhku dan sekarang berbanding terbalik.
Gadis tadi, aku mencoba mengingat-ingat namanya. "Syira, aku ingin memastikan satu hal?"
"Ya? "
"Tahun berapa sekarang? "
"Tahun? Kalau tidak salah satu tahun ada tiga ratus enam puluh hari?"
Bukan--aku juga tahu kalau yang itu. "Tahun masehi--tahun berapa sekarang?"
Gadis itu berfikir keras. "Maaf, aku tidak mengerti. Mungkin jika Kak Shamhat sangat ingin mengetahuinya Kak Shamhat bisa bertanya pada--" Syira terdiam. "Eh--hanya kaum bangsawan yang biasanya belajar. Memangnya mengapa bertanya tiba-tiba?"
Aku mulai berfikir lagi, memutar otak. Mereka mengetahui jumlah hari dalam setahun, tapi tidak dengan penanggalan masehi. Terdapat kemungkinan jika penghitungan tahun masehi masih belum ditemukan. Karena jika sudah, aku yakin gadis ini pun pasti mengerti meski tidak mengenyam pendidikan sekalipun. Itu berarti--apa aku berada di era sebelum penanggalan masehi ditemukan? Anggaplah seperti itu, aku juga tidak tahu harus berbuat apa.
Sayang sekali sejarah yang kupelajari dulu hanya sebatas materi dasar, zaman praaksara, kerajaan di Nusantara, dan era reformasi. Aku memang baru menyadarinya. Sejak aku muncul disini aku telah menggunakan bahasa asing yang belum pernah kugunakan. Ini jelas bukan bahasa daerah-daerah sekitar Asia Tenggara. Bahkan dialek yang digunakan lebih mirip ke Timur Tengah. Pakaian yang mereka kenakan, juga bentuk wajah dan warna rambut, sangat berbeda dengan tempat asalku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shamhat [Completed]
FanfictionAkan kuabadikan kisah ini dalam dengung alunan syair puisi. Tentang megahnya dunia yang ia tinggali. Tentang tirani yang paling kejam pada masanya. Tentang indahnya ikatan persabatan. Hingga kebahagiaan dan kesedihan yang tidak dapat melampaui itu...