Bagian XV

229 40 24
                                    

Aku tidur lebih awal dengan dalih sangat kelelahan. Aku tahu dia menyadarinya. Tentang sikapku yang berubah tanpa diduga. Aku pun tahu dia juga kebingungan dengan apa yang harus dilakukannya untuk membuatku kembali. Namun egoku kelewat tinggi untuk ini.

Aku juga sebisa mungkin untuk tidak mengajaknya bicara kecuali sangat mendesak. Dan jika pemuda cantik itu menanyakan tentang apa yang terjadi padaku dengan perubahan sikap ini, aku hanya akan mengatakan jika itu hanya perasaannya. Mungkin dia sampai frustasi. Aku pun juga sempat merasa kasihan, tapi sekali lagi kukatakan, egoku terlalu tinggi untuk ini.

"Shamhat, apa aku melakukan kesalahan?" tanyanya sebelum kami tidur kala itu.

"Tidak."

"Lalu, apa tubuhmu sakit? Sikapmu berubah."

"Itu hanya perasaanmu. Aku masih sama."

Karena aku membelakanginya, aku tidak bisa melihat ekspresi seperti apa yang sedang ia tunjukkan sekarang. Kami terdiam cukup lama, tapi aku tahu dia belum pergi ke alam mimpi. Sejurus kemudian aku mendengar suara benda bergesek yang sepertinya diakibatkan oleh Enkidu yang merubah posisi.

"Shamhat," panggilnya untuk yang kesekian kali dengan nada suara itu. "Kumohon, beritahu aku apa yang membuatmu seperti ini? Emosi manusia masih banyak yang tidak kupahami. Aku merasa kau marah karena suatu hal. Tapi, aku tidak mengerti. Apa aku telah membuat kesalahan?"

Aku tertegun. Lebih dari seharian penuh aku telah mendiamkannya. Dan setelah mendengar pengakuannya tadi, kejam sekali jika aku tetap membiarkannya. Setelah tetap terdiam dalam waktu yang lebih lama, aku membalikkan tubuhku untuk menghadapnya, yang seperti dugaanku telah tertidur.

Poni panjangnya menutupi mata. Sedikit ragu aku menyibaknya perlahan. Membuat kelopak mata yang sundu itu nampak jelas di penglihatanku. "Maaf," gumamku. "Tidak seharusnya aku mendiamkanmu terlalu lama."

Kutempelkan keningku di keningnya. Sebuah tindakan yang bahkan juga tidak kuduga sebagai pelaku. Lantas, secara mengejutkan kelopak mata Enkidu terbuka lebar. Memamerkan bulatan zamrud yang berkilau oleh pantulan lilin kecil dibelakangku. Aku bahkan tidak sempat mengambil jarak untuk mengelak sewaktu-waktu dia menuduhku. Tangan hangatnya mendekapku lebih dulu. Tidak mengizinkanku untuk menjauh.

"Jangan lakukan itu lagi padaku."

Tanpa mempedulikan degup jantungku, pemuda ini tidak berniat melepas pelukannya. Aku panik tidak karuan, dengan dampak lidahku kelu saat kuperintahkan untuk berbicara. Enkidu tersenyum senang sembari menatapku teduh dengan iris matanya. Dan detik berikutnya matanya kembali terpejam. Ia tertidur dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya.

~*O*~

"Shamhat, kebetulan sekali."

Kali ini aku bertemu dengan Siduri setelah mengantarkan makanan ke Ziggurat. Seperti biasa, meskipun ia adalah adik Raja Gilgamesh, dia tidak berpenampilan mencolok seperti kakak-kakak iparnya. Mungkin karena belum menikah?

Karena ini di Ziggurat, jadi kurasa aku harus menghormatinya selayaknya seorang putri bangsawan. Kubungkukkan punggungku sembari mengucapkan salam padanya. Lantas Siduri mengajakku ke lorong yang lebih sepi. Kami berdiri di tepi pembatas sambil memandangi kota Uruk dari Ziggurat.

"Maaf sebelumnya jika saya terlalu ikut campur, tapi sejak kemarin, Enkidu tidak bisa serius dengan pekerjaannya. Apa terjadi sesuatu?"

Segera saja aku bingung, haruskah kukatakan saja masalah ini? Tapi itu benar-benar sesuatu yang terlalu sepele jika kuberitahukan pada Siduri. Lagipula, aku sudah tidak terlalu mengabaikannya. Iya, tidak terlalu. Jadi masih sedikit.

Aku menggelengkan kepalaku. "Bukan apa-apa. Kami baik-baik saja. Sungguh."

"Begitukah?"

Aku mencoba tersenyum senormal mungkin dan berusaha mencari topik pengalihan. "Iya! Bicara soal itu, tentang keberangkatan mereka ke hutan Arash, apakah sudah diputuskan?"

Aku lega ketika Siduri berhenti menatapku dengan sorot penuh selidik. Wanita itu mendongakkan kepalanya untuk menatap langit. "Soal itu, karena banyak prajurit yang dikerahkan ke perbatasan, serta pemberontakan yang terjadi di Kota Kish, kami sedang mencari relawan yang bersedia ikut pergi ke sana."

"Itu dia!" pekikku tanpa sadar. Buru-buru kubungkam mulutku sendiri, tidak membiarkannya bicara lebih banyak lagi.

"Apanya?"

"Eh, ah, tidak. Hanya saja kurasa masalah Enkidu akan segera terselesaikan. Dia pasti akan segera fokus dengan pekerjaannya lagi. Kalau begitu, Nona Siduri, saya pamit undur diri."

Kuucapkan salamku dengan formal sebelum akhirnya kulangkahkan kakiku lebih cepat, untuk meninggalkan Siduri dan Ziggurat.

~*O*~

"Tidak, tidak, tidak. Aku tidak akan mengizinkanmu menjadi relawan. Humbaba bukanlah aku, yang sudah jelas tidak akan memakan manusia. Sudah kukatakan sebelumnya, bukan? Dua orang warga telah menjadi korbannya!"

Mode seriusnya datang. Di satu sisi dia tampak mengagumkan dengan pembawaannya yang tidak seperti biasa. Namun di sisi lain dia terlihat begitu mengesalkan. Sialnya lagi, aku telah kehabisan argumen untuk mendebatnya.

Kutundukkan kepalaku dalam-dalam menahan emosi karena aku sendiri sudah kehabisan kata.

"Aku tidak mau." Ini adalah upaya terakhirku. Kubuang sedikit harga diriku yang kelewat tinggi, lalu merubahnya dalam mode kekanakan.

"Shamhat, sudah--"

"Kubilang aku tidak mau!" Aku sampai berdiri dan menggebrak meja. "Jangan pergi seenaknya meninggalkanku! Kau sudah berjanji untuk selalu ada di sampingku, kan? Kalau begitu biarkan aku pergi! Haruskah kukatakan lagi jika Uruk bukanlah tempatku yang sesungguhnya?! Hanya kau yang kupercaya! Hanya untuk ini! Kumohon mengertilah...!"

Enkidu terpaku menatapku. Sementara aku mengatur napasku yang tersendat, tanpa kusadari air mataku mulai berjatuhan. Aku terkesiap. Tanpa mempedulikannya lagi, aku berlari ke lantai atas dan membungkus seluruh tubuhku dengan selimut.

Apa barusan aku keterlaluan? Tidak seharusnya aku membentaknya seperti itu. Pastinya dia lebih tahu, perjalanan ini berbahaya. Harusnya aku mengerti, ini untuk kebaikanku.

Dari kejauhan aku mendengar tapak kaki menaiki tangga. Pemuda itu menyusulku. Reflek kurapatkan selimutku dan berhenti bersuara.

"Shamhat," panggilnya. Aku tahu benar bagaimana ekspresinya terbentuk dengan nada suara itu. Air muka yang akan selalu meluluhkanku jika sampai aku melihatnya. "Maafkan aku. Besok aku akan bicara dengan Gilgamesh. Kalau dia yang memutuskannya, tidak masalah, kan?"

Antara adil dan tidak adil. Jelas sekali raja pasti di pihak Enkidu. Tapi melibatkan pihak ketiga memang keputusan yang sulit untuk kubantah. "Terserah."

"Terima kasih," ucapnya. "Maaf membuatmu menangis."

Aku tercekat untuk sesaat. Tanganku sedikit mendingin. Jantungku mendadak berdebar berlebihan. Padahal hanya suaranya. Tanpa menatap matanya. Kenapa aku jadi gila seperti ini?

"Selamat tidur, Shamhat."

Sejurus kemudian pemuda itu telah membaringkan diri di belakangku tanpa berkata-kata lagi.

~~~TBC~~~

|•|
941 words
|•|

Antara nama Kish dan Agga, aku kurang yakin mana yang nama kota dan mana yang nama penguasanya. Dua sumber mengatakan hal yang berkebalikan. Tapi yang lebih penting, dalam Puisi Sumeria yang berjudul Gilgamesh dan Agga, Gilgameshlah yang menjadi pemberontak di kota itu.

Publikasi [14 Juni 2020]

Salam hangat
Asano_H~

Shamhat [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang