Perekonomian dan pembangunan kota Uruk benar-benar kacau. Panen musim ini terancam gagal. Para petani tidak bisa memanen gandum mereka karena ladang telah hancur oleh badai di hari itu. Mendadak, harga barang kebutuhan pokok naik tiga kali lipat.
Belum lagi rekonstruksi yang harus segera diselesaikan. Tugas kerajaan pasti menumpuk berkali-kali lipat.
Rumah yang kami tinggali juga ikut rusak, meskipun tak separah di area jalan utama dari gerbang Uruk ke Ziggurat. Enkidu bahkan tidak pulang tiga hari terakhir ini. Kami hanya bisa bertemu sesekali ketika jam istirahat kerjaku di Ziggurat. Itu pun tidak bisa berlama-lama, karena segunung pekerjaan telah menunggunya.
Aku kesepian, tentu saja. Tapi perasan pribadiku tidak sebanding dengan pentingnya mengembalikan kestabilan ekonomi, pembangunan, dan pemerintahan Uruk.
"Shamhat."
Jantungku berdesir aneh mendengar suara yang memanggiku. Perasaanku membuncah. Sesuatu yang yang tak bisa kujabarkan menguasaiku. Aku sangat gembira. Segera kutinggalkan panci gerabah yang baru saja selesai kucuci dan berlari ke ruangan depan.
Sosok pemuda bersurai hijau panjang dengan iris zamrud dan senyum ramahnya, berdiri di depan tirai pintu. "Maaf, ya? Aku pulang terlambat," ujarnya sungkan.
Aku kesal. Entah bagaimana semua emosiku yang kutahan beberapa hari terakhir ini berujung dengan kekesalan yang tidak masuk akal. Sejenak kutundukkan kepalaku ketika kurasakan mataku yang memburam. Kurasa aku ingin menangis, tapi egoku tidak pernah mengizinkannya. Sebagai gantinya, tubuhku melangkah cepat dan segera melingkarkan tangan ke perutnya. Kupalingkan wajahku darinya. Tidak kuberi izin baginya untuk melihatku.
Seperti biasa, Enkidu mengusap lembut surai hitamku. Cukup lama. Membuatku candu. Memberiku waktu untuk menghilangkan kerinduanku padanya. "Mau melihat langit? Bintang malam ini indah."
Kulepas pelukannya sembari mengangguk. "Aku akan membuat teh, tunggulah di atas."
"Kau bisa membawanya?"
"Akan kupanggil jika aku kerepotan."
"Baiklah." Pemuda ini tersenyum lagi. "Oh, jangan lupakan kue kacangnya, ya?"
Aku balas tersenyum. "Dimengerti."
~*O*~
Seperti yang dikatakan pemuda cantik itu, bintang malam ini sungguh indah. Kerlap-kerlipnya menyebar seperti pasir bercahaya di langit yang gelap. Ah, aku ingat beberapa namanya. Sepertinya aku pernah sedikit belajar tentang ini.
"Lihat tiga bintang yang berjajar itu?" Kutunjukkan jariku ke atas, arah barat daya. "Aku tidak tahu namanya sih, tapi mereka dan beberapa bintang lagi--yang juga tidak kuingat di mana saja letaknya--membentuk konstelasi bernama Orion."
"Orion?"
Aku mengangguk. Aku yakin seseorang telah memberitahuku. Karena aku juga tidak terlalu tertarik mempelajari astronomi, hanya itu yang bisa kuingat. Tiga bintang sejajarnya adalah yang paling terkenal dan mudah dikenali. Sayangnya hanya sebatas itu. Nama ketiga bintang itu saja aku tidak tahu.
Lantas pemuda itu berbaring. "Kalau begitu, Shamhat, kau melihat tiga bintang yang membentuk tiga titik sudut itu," tanya Enkidu. Kali ini yang ditunjuknya tepat berada di atas kami. Aku mengikutinya membaringkan diri. Ternyata posisinya memudahkanku untuk menatap langit.
"Di dua bintang yang jaraknya paling dekat tarik sebuah garis semu ke barat hingga bertemu dengan tiga bintang berjajar." Ia mulai melanjutkan. "Tautkan garis tadi pada dua bintang terluar. Oh, tiga bintang berjajar itu juga bisa kau buatkan garis semu. Kau sudah menemukan bentuknya?"
Kuanggukkan kepalaku, cukup mengerti. "Aku bisa membayangkannya."
Tangannya mulai terangkat kembali, dengan sesekali membuat gerakan melukis di udara. "Lalu tarik garis lagi dari bintang berjajar yang paling utara ke arah yang sama, sampai melengkung di tiga bintang yang di sana."
Aku mengangguk lagi. Semakin paham.
"Namanya Ābu. Menurutmu bentuknya seperti apa?"
Aku berfikir sejenak dan memutuskan untuk menebak, "Tikus."
Pemuda itu terkekeh. "Bukan, tahu. Bentuknya adalah singa."
"Heeeeh?! " Dilihat bagaimana pun, bentuknya sama sekali tidak mirip singa! Jauh. Imajinasi penamaannya terlalu jauh. Bahkan bentuknya benar-benar mirip origami tikus.
"Garis melengkung tadi adalah kepalanya, lalu sisanya adalah tubuhnya."
"Kukira garis melengkung itu adalah ekor."
Enkidu masih tersenyum menahan tawa. Namun dia mengabaikan kalimatku barusan. Aku sedikit berdecak sambil mengamati wajahnya dari samping. "Wah, baru saja ada bintang jatuh." Tunjuknya spontan ke atas langit.
Bintang jatuh? Mana?! Seumur hidup aku belum pernah melihatnya secara langsung. Namun, ternyata, aku kalah cepat dengan kecepatan meteor itu terbakar di atmosfer.
Ngomong-ngomong, "Kenapa bisa disamakan dengan singa? Aku heran." Aku menyuarakan benakku tanpa sadar.
"Karena Gil memelihara beberapa singa di kandang khusus miliknya."
Daripada penasaran apakah raja yang menamai rasi bintang itu, aku lebih penasaran benarkah raja memelihara singa betulan. "Heh?! Yang benar?"
Bukannya menjawab, suasana malah menghening. "Shamhat," panggilnya kemudian.
"Ya?"
Tidak lekas menjawab, pemuda cantik itu nampak menimbang-nimbang. Lantas ia menyahut, "Bukan apa-apa." Enkidu kembali bangkit untuk duduk. "Lekas habiskan tehmu dan segeralah tidur. Ini sudah malam."
~~~TBC~~~
|•|
721 words
|•|Ābu adalah penyebutan kebudayaan Mesopotamia untuk rasi bintang Leo. Ngomong-ngomong, Addaru juga kuambil dari nama rasi bintang Pisces dalam kebudayaan mereka.
Dan..., hai, jadi karena minggu depan aku sudah mulai hiatus, hari ini aku update sebanyak yang aku bisa. Karena nanti siang aku juga sibuk sekali, aku ngebut aja pagi ini.
Maap kena spam.
Dan..., sampai jumpa lagi! 🤗
Publikasi [26 Juli 2020]
Salam hangat
Asa~
KAMU SEDANG MEMBACA
Shamhat [Completed]
FanfictionAkan kuabadikan kisah ini dalam dengung alunan syair puisi. Tentang megahnya dunia yang ia tinggali. Tentang tirani yang paling kejam pada masanya. Tentang indahnya ikatan persabatan. Hingga kebahagiaan dan kesedihan yang tidak dapat melampaui itu...