Matahari pagi yang cerah masuk sedikit demi sedikit melalui celah di antara rapatnya pepohonan. Aku yang terusik, lantas segera terbangun. Ketika aku hendak bangkit aku baru teringat semalam aku dilempar oleh Enkidu. Tersisa sedikit rasa nyeri di punggungku. Itu gila. Bagaimana dia bisa memiliki tenaga sekuat itu dengan tubuhnya yang kurus? Terlebih tidak ada manusia yang memiliki kekuatan seperti itu.
Kuedarkan pandanganku untuk mencari sosoknya. Lantas kutemukan dirinya tak jauh dariku tengah meringkuk di antara robekan kain yang dijadikannya sebagai selimut. Semua laki-laki memang sialan!
Ketika punggungku sudah terasa lebih mendingan, aku mulai mendekatinya. Menarik hati-hati tas kulit di sebelahnya, berusaha untuk tidak membuat kegaduhan sedikit pun. Aku menghela napas kecewa. Isinya sudah kosong.
Kulirik Enkidu yang masih nyaman dengan tidur pulasnya. Kain yang digunakannya untuk tidur masih cukup bagus untuk dijadikan penutup tubuh pemuda itu yang masih telanjang. Tapi aku bisa mengejutkannya lagi jika aku mencoba mengambilnya. Alhasil yang kulakukan hanya duduk menunggu. Aku akan seperti ini untuk sementara.
Tidak kusangka dia baru bangun ketika siang menjelang. Aku tidak bisa bergerak banyak karena mulai kelaparan. Sialan! Barangkali Enkidu terbangun karena bunyi perutku yang mengganggu.
Tepat ketika perutku berbunyi semakin keras, pemuda itu mengambil mode siaga seperti malam tadi. "Tolong jangan samakan perutku dengan geraman hewan liar," mohonku dengan sangat. Dia malah menyahut dengan menggeram balik.
Aku mengeluh dalam hati. Apa tidak ada yang bisa kulakukan dengan perutku? Ah, masa bodoh. Dihutan cedar seperti ini memangnya apa yang bisa kutemukan?
Kemudian Enkidu pergi tanpa kusadari dan kudapati dia kembali dengan dua buah apel merah di genggamannya. Masih dengan tubuh tanpa penutupnya, dia mendekatiku. Menyodorkan kedua buah itu padaku tanpa kuduga.
"Untukku?" tanyaku senang. Aku lapar sekali.
"Untuk--ku? " tirunya.
Aku menyesal menggunakan kalimat itu. "Untuk Shamhat!" ulangku dengan penekanan.
Pemuda cantik itu tersenyum. "Untuk--Shamhat!"
Hatiku menghangat. Sedikit berdegup aneh. Dia manis sekali! Sama sekali tidak mirip monster.
"Terima kasih."
"Terima--kasih."
Kuterima buah itu dengan senang hati dan lantas memakannya hingga habis tak tersisa. Aku mengatakan tak tersisa karena aku memang memakan bijinya sekaligus. Dan itu masih kurang.
Setelah mengamatiku sebentar, Enkidu memilih untuk memainkan kainnya yang semalam ia gunakan untuk tidur. Aku menghampirinya pelan-pelan dan lantas bertanya, "Boleh kupinjam kain putih itu? "
Kali ini dia tidak menirukan kalimatku. Barangkali terlalu panjang untuk bisa dia ingat. Setelah tanganku teracung cukup lama, akhirnya pemuda itu memberikannya. "Terima kasih." Aku tersenyum membalasnya, karena mungkin dengan begitu dia akan menirukanku tersenyum lagi.
Dia cukup terkejut saat aku menggunakan kain itu untuk membungkusnya dan beberapa kali mencoba berontak. Dengan sedikit sobekan dan beberapa kain yang sudah robek sejak semalam, aku membuatkannya pakaian sederhana. Lebih tepatnya memaksa. Aku tentu masih wanita muda waras yang ngeri melihat seorang pemuda tanpa busana berlarian kesana-kemari.
Hasilnya sangat buruk, tapi aku tetap merasa puas dengan itu. Beberapa kali dia menggeram tidak suka dan mencoba melepaskannya.
"Enkidu, lihat, aku juga memakainya," kataku sembari menunjukkan pakaianku yang jelas berbeda. Kuharap dia tidak mempermasalahkan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shamhat [Completed]
أدب الهواةAkan kuabadikan kisah ini dalam dengung alunan syair puisi. Tentang megahnya dunia yang ia tinggali. Tentang tirani yang paling kejam pada masanya. Tentang indahnya ikatan persabatan. Hingga kebahagiaan dan kesedihan yang tidak dapat melampaui itu...