Song credit :
Tell Me by Milet~*O*~
Rombongan berhenti dan kami pun segera tahu jika kami telah menemukannya. Dengan isyarat tangan yang dilakukan oleh raja, kami mulai berpencar menempati formasi yang sudah direncanakan tadi malam. Petarung jarak jauh pun mulai menyiapkan busur dan anak panahnya.
Menunggu komando lanjutan, kami bisa melihat dengan jelas, monster raksasa yang tengah asyik menyantap daging hewan mentahnya, Humbaba. Kuteguk susah salivaku. Dia jelas jauh berbeda dari Enkidu. Bertolak belakang malah. Aku tidak mungkin jatuh cinta pada makhluk yang seperti itu tentunya.
Aba-aba berikutnya, belasan anak panah, bonus pedang dari Gate of Babylon dan rantai Enkidu, menghujaninya. Sudahkah ia terbunuh? Tidak. Seperti halnya mencabut jarum yang tidak sengaja menusuk kulit, monster itu mencabuti pedang dan anak panahnya satu persatu.
Marah karena acara sarapannya diganggu, ia mengaum keras memekakkan telinga. Posisi kami dapat dengan mudah diketahui karena minimnya tempat persembunyian. Merobohkan pohon terdekatnya, Humbaba lantas mengamuk tak terkendali. Memukul, melempar, dan menghempaskan pohon yang dicabutinya ke arah rombongan kami.
Dalam sekejap, mental para pemuda dikalahkan. Mereka ketakutan dan mati-matian untuk tidak melarikan diri. Bagaimana pun juga melangkahkan kaki kemari adalah keputusan mereka.
Banyak orang mulai terluka. Karena hanya aku dan seorang tabib yang menanganinya, kami pun juga mulai kewalahan.
Sedikit jauh dariku, Gate of Babylon terbuka semakin lebar. Portal senjata itu muncul semakin banyak. Bahkan di kejauhan aku juga bisa melihat dengan jelas, pakaian Enkidu yang mulai robek dan ternodai bercak darah.
Korban luka berikutnya adalah seorang gadis. Kulit lengan kanannya terkelupas dan mengeluarkan banyak darah. "Addaru! Lukamu parah! Duduklah di sini," pintaku. Jika di tanya bagaimana aku sekarang, tentu saja aku ketakutan. Tanganku tidak berhenti gemetar saat merawat luka-luka dengan banyak darah. Tapi, seperti yang lainnya, melangkahkan kaki kemari adalah keputusanku. Maka aku tidak akan mundur.
Pertama, aku membersihkan sebagian besar noda darahnya. Lalu, "Gigit bajumu. Tahan sebentar, ya?" Kusiram lukanya dengan cairan pembersih yang diberikan oleh tabib tadi. Addaru mengerang tertahan sampai meneteskan air mata. Aku yakin itu tadi sangat menyakitkan. Segera kuambil kain bersih yang telah dilapisi racikan daun penyembuh luka--yang tidak kutahu namanya--lantas mengikatkannya ke luka di tangan Addaru.
Ketika posisi kami tak lagi diuntungkan dengan banyaknya korban terluka. Kami dikejutkan dengan datangnya angin besar yang telah membentuk topan disertai guntur. Tidak lagi. Haruskah bencana datang ketika kami sedang terdesak?Apakah perjuangan kami hanya akan sampai di sini?
Angin bertiup semakin kencang, tanpa menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti.
"Sham--hat. Sepupuku, masih di sana."
Beberapa orang di antara kami berhasil bersembunyi di balik bebatuan. Termasuk aku dan Addaru. "Sepupu?" tanyaku pada gadis itu di tengah kacaunya keadaan.
Tabib paru baya yang bersama kami ikut menimpali. "Ini sudah di luar akal manusia. Gadis itu harus mundur. Jika terlambat, dia dalam bahaya."
Sedikit ragu aku berfikir. Setelah keberanianku terkumpul, aku bergegas keluar. "Nak, Shamhat! Jangan ke sana!" Tabib itu mencoba mencegahku. Tapi aku sudah terlanjur maju, tidak ada gunanya memerintahkanku untuk mundur.
Gate of Babylon sudah tidak lagi terlihat. Namun Raja dan Enkidu masih berdiri di depan Humbaba tanpan terpengaruh oleh kencangnya angin yang bertiup. Sementara raksasa itu terus-menerus menutup kedua matanya sembari mengaum keras. Dia seperti kesakitan. Mungkinkah angin ini, juga karena mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Shamhat [Completed]
FanfictionAkan kuabadikan kisah ini dalam dengung alunan syair puisi. Tentang megahnya dunia yang ia tinggali. Tentang tirani yang paling kejam pada masanya. Tentang indahnya ikatan persabatan. Hingga kebahagiaan dan kesedihan yang tidak dapat melampaui itu...