Aku ragu. Keputusanku untuk mengatakan hal itu malah menjadi senjata makan tuan, yang membuatku tidak nyaman sendiri. Kekacauan terutama di sektor ekonomi dan keamanan kota kian memburuk. Bahkan nyaris terjadi kudeta di kalangan menteri. Beruntung kami berhasil mencegahnya.
Jika aku menghitungnya dari sejak pertama kali aku keluar dari mengurung diri. Aku mendapatkan hitungan waktu tiga puluh enam purnama lamanya raja belum kembali. Bahkan putra kecilnya sekarang mulai belajar untuk berjalan.
Namun aku merasa sangat gembira ketika mendengar kabar jika raja telah kembali beberapa saat setelah perhitunganku itu. Kala itu kami sedang mengurusi beberapa laporan dari tembok Utara, tentang petisi dari pasar timur. Pangeran muda Uruk juga merengek di sana sembari minta digendong oleh Siduri. Anak itu sangat lengket dengan bibinya. Dia belum diberi nama, karena Siduri mengatakan hanya ayah dan ibunya kandung yang memiliki hak itu.
"Siduri--"
Kami sama-sama tercekat ketika mendapati raja berdiri di dekat tangga. Iris mata rubynya masih sama tajam. Hanya saja rambutnya telah tumbuh seperti perempuan, walau tidak sepanjang milik Enkidu. Pakaiannya lusuh, bertolak belakang dengan dirinya dulu, yang identik dengan banyak perhiasan.
Siduri tidak berkata-kata lagi. Setelah mengambil alih Tuan Muda--begitulah kami memanggilnya--wanita itu lantas turun dari singgasana dan berlari menuju kakak semata wayangnya. Mengesampingkan tata krama kerajaan, Siduri melingkarkan satu tangannya yang tidak sedang menggendong pangeran di punggung raja. Dia menangis, sementara raja mengusap kepalanya lembut. Aku ikut terharu melihat pertemuan mereka setelah sekian lama berpisah.
"Raja, berilah dia nama. Dia adalah putramu," kata Siduri setelah dia telah menenangkan diri.
Untuk kedua kalinya aku melihat raja meneteskan air mata. Kali ini pasti air mata kebahagiaan. Dengan sedikit kaku tangannya mencoba meraih putranya. Raja tersenyum, dan itu adalah pertama kalinya aku melihat senyum dari seorang raja tirani, Gilgamesh. Diangkatnya putranya setinggi kepala, lantas menggumamkan sebuah nama. "Ur-Nungal."
Mendapatkan nama barunya, anak itu tertawa. Dia mencoba berbicara dengan bahasanya sembari menarik-narik surai emas ayahnya.
Sebuah perasaan aneh bergejolak dalam dadaku. Terasa begitu melegakan. Membuatku ingin menari bebas di atas rerumputan hijau.
Enkidu.
Kuharap kau juga menyaksikannya.
~*O*~
Karena raja telah kembali, aku merasa tidak dibutuhkan lagi di pemerintahan. Raja juga memberiku perintah melalui Siduri, untuk kembali bekerja di dapur Ziggurat. Tapi kurasa tidak semudah itu. Bahkan orang-orang di Ziggurat telah mengetahui kekuatanku yang dianggap aneh dengan tidak bisa dilukai oleh senjata apapun.
Menghindari telinga panas, aku kembali memasak dari rumahku.
Aku akan datang ke Ziggurat ketika jam makan keluarga kerajaan. Dan kembali ke rumahku setelahnya.
Namun, petang ini, sebelum aku mengantarkan makanan untuk raja, dua orang yang tidak kuduga mendatangi rumahku. Seorang wanita dengan cadar gelap dan tudung putih tipis seperti selendang yang menggendong seorang balita bersurai coklat keemasan, lalu, satu orang pria beriris ruby bercelana merah menggembung dan kemeja tanpa kancing seatas perut dengan kerah tinggi. Aku bahkan tidak yakin jika itu bisa disebut sebagai kemeja karena tidak ada lengannya.
Merasa bangga karena bisa mengejutkanku, pria emas yang tak lagi terlalu emas itu mulai berbicara di keheningan kami yang canggung.
"Aku sudah mendengarnya dari Siduri, Pelacur! Kau benar-benar berani, ya, memintaku untuk memberikan hartaku hanya karena kau mengurusi sedikit pekerjaan pemerintahan."
Aku, kan, belum bertemu dengannya lagi sejak dia pulang dari pencarian keabadian. Raja selalu sibuk karena harus membenahi tatanan negara yang telah lama ditinggalkannya. Bahkan kudengar beliau sering tidak menghadiri acara makan keluarga kerajaan. Ah, yang lebih penting, tak bisakah raja itu menjaga ucapannya di depan putranya sendiri?
"Sebagai hukumannya, segera hidangkan masakan terbaikmu sekarang juga!"
Aku masih melongo ditempat sebelum akhirnya Siduri memberiku penjelasan singkat. "Raja hanya ingin memakan kue buatanmu."
"Tolol! Aku tidak mungkin repot-repot kemari hanya untuk makanan yang tidak jelas asal-asulnya," bantahnya sembari berjalan ke arah meja. "Capat! Jangan membuatku menunggu terlalu lama!"
Heh?! Di sini?
"Aku juga akan membantu. "
"Tidak. Tunggu dulu--"
Namun mereka mengabaikanku. Alhasil aku pun mulai menyajikan makanan yang seharusnya kubawa ke Ziggurat di rumahku karena Siduri terlanjur menurunkan semua makanan dari keranjang yang biasa kubawa ke sana.
"Kalau begitu, saya akan mengurus Pangeran Ur-Nungal. Dengan begitu Anda bisa makan malam dengan tenang."
"Tidak, kau juga ikut makan di sini."
"Eh?"
Siduri terkekeh. "Raja serius ingin menghadiahi kerja kerasmu, Shamhat."
"Tapi--saya tidak--"
"Yeah, memang tidak seharusnya sih, bawahan makan bersama rajanya." Nah, dengar. Aku saja benar-benar meragukan keseriusannya.
"Pokoknya, kau hanya tinggal mendudukan dirimu di sana dan segera makan. Konyol! Kau pikir aku tidak bisa mengurus putraku sendiri?"
Pada akhirnya aku tetap menuruti kemauan mereka. Duduk bersebelahan bersama Siduri dengan raja dan pangeran berhadapan dengan kami. Satu menit dua menit, aku mulai merasa tidak nyaman. Rasanya pantatku panas ingin segera berdiri. Aku bahkan tidak bisa menelan makananku dengan benar.
"Kau baik-baik saja, Shamhat?" tanya Siduri menyadariku tidak nafsu makan.
Kutundukkan kepalaku dalam, lantas menggeleng pelan. "Aku gugup sekali. Nafsu makanku jadi hilang," ungkapku jujur.
Raja tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuanku. Sebenarnya itu adalah type tawa yang membuat orang lain ikut tertawa, tapi aku tidak terpancing untuk tertawa karena aku tidak mau menertawai diriku sendiri. Sementara itu Siduri antara ingin menertawakanku dan merasa bersalah telah memaksaku makan bersama mereka--mencoba menghiburku.
"Aku tak habis fikir bagaimana pelacur ini berani menghantam kepalaku di pertemuan pertama kami." Sambil berkata seperti itu, raja menunjuk-nunjuk pelipisnya. Tawa membahananya masih mengiringi. "Hiaaaah, kau benar-benar membuatku terhibur. Haruskah aku menuliskannya di catatan kerajaan? Tingkah seorang pelacur yang membuat raja sakit perut?"
Banyak hal yang telah berubah. Bahkan aku merasa raja telah menjadi semakin baik setelah kepulangannya mencari keabadian--kecuali bagian cara ia memanggilku. Entah apa saja yang telah ditemuinya dalam perjalanan panjang itu.
Kami menyelesaikan makan malam dengan segera. Ketika Siduri bersikeras membantuku mencuci peralatan makan, aku semakin merasa tidak enak padanya. Mau bagaimana pun juga, dia adalah putri raja terdahulu.
"Pangeran menangis, sebaiknya kau segera menidurkannya." Ini salah satu upayaku mengelak, supaya Siduri berhenti membantuku.
Namun aku sungguhan menggeleng-gelengkan kepala kala kudapati Pangeran Ur-Nungal menangis karena ditinggal sendirian oleh ayahnya. Rasanya itu bukan tindakan yang bisa diambil oleh orang yang merasa bisa mengurus anaknya sendiri.
"Kalau begitu saya pergi dulu, Shamhat."
~~~TBC~~~
|•|
992 word
|•|Publikasi [8 November 2020]
Salam hangat
Asa~

KAMU SEDANG MEMBACA
Shamhat [Completed]
FanfictionAkan kuabadikan kisah ini dalam dengung alunan syair puisi. Tentang megahnya dunia yang ia tinggali. Tentang tirani yang paling kejam pada masanya. Tentang indahnya ikatan persabatan. Hingga kebahagiaan dan kesedihan yang tidak dapat melampaui itu...