Bagian XIV

203 45 7
                                    

"Shamhat? Apa yang sedang kau lakukan? Kenapa berdiri di sini?"

Aku terkesiap dan lantas mendapati sosok pemuda cantik berpakaian tunik putih polos yang sangat kukenal. "Enkidu?"

"Ada apa? Kau habis menangis?" tanyanya. Kakinya yang tak beralas semakin melangkah maju mendekatiku.

Cepat-cepat kuusap air mataku yang masih tersisa. Aku tidak ingin dia melihatku seperti ini. Namun tanganku kalah cepat dengan langkah kakinya. Ia menarik tanganku untuk menghentikan gerakannya. Ketika aku membuka mata, iris zamrudnya menatapku khawatir. Aku kalah. Kupeluk dirinya erat-erat sebelum ia dapat berkomentar apa pun.

"Apa ada masalah?"

Aku menggeleng pelan di dada bidangnya. Eh? Dada? Cepat-cepat kulepas pelukanku dan lantas berdiri sidikit menjauh. "Sejak kapan tinggimu berubah?!"

"Jadi itu masalahmu?"

"Aku sempat mengira salah orang."

"Karena beberapa alasan aku perlu mengubah tinggiku. Aku hanya menyesuaikannya dengan orang-orang di sekeliliku."

Jawaban yang menyeramkan dari monster berwujud manusia. Dia juga secara tidak langsung mengejekku pendek. Mencoba melupakan hal itu, kuputuskan untuk bertanya, "Mumpung kita bertemu, bantu aku membawa keranjang ini ke ruang makan."

"Oh! Apa kau membuat kue kacang juga hari ini?" Dia sangat suka kue kacang. Sebelum tangannya gatal ingin membuka penutup keranjang, aku sudah memperingatkannya.

"Jangan dibuka. Ini untuk Raja."

Sembari membantuku membawa keranjangnya sesekali pemuda itu menggumam tidak jelas. Kami berjalan beriringan di lorong, sebelum akhirnya menemukan sebuah ruangan luas dengan satu meja yang kelewat panjang di tengah ruangan. Tak lupa, belasan kursi turut berjajar mengelilinginya.

Kedatanganku disambut hangat oleh kepala pelayan bagian dapur, dia seorang pria yang ramah. Ia juga memberi hormat kepada Enkidu ketika pemuda itu masuk setelahku. Ya Ampun, Enkidu benar-benar telah seperti anggota kerajaan saja. Setelah keranjang yang ia bawa diambil alih, pemuda itu tersenyum hangat sebelum meninggalkan ruang makan.

Kemudian, aku mulai kembali bekerja. Membatu para pelayan lain menata makanan di meja sebelum kepala pelayan mempersilakan keluarga kerajaan untuk menikmati hidangannya.

Kalau diingat-ingat kembali keluarga kerajaan yang kutemui hanya Raja Gilgamesh dan Siduri. Melihat kursi yang berjajar cukup banyak, pasti anggota keluarga raja sudah seperti keluarga besar.

Ketika waktunya telah tiba, kepala pelayan pergi menuju ruang pertemuan utama untuk mempersilakan Raja mengisi perut. Aku menyebutnya demikian. Meski dia sudah taubat sekali pun masa lalu kami tidak pernah bisa berubah. Karena aku pengecut, aku akan mengatakan hal-hal semacam ini hanya untuk diriku.

Sebelum Raja datang, beberapa perempuan cantik dengan perhiasan mewah datang lebih dulu dan duduk dikursi saling berhadapan. Kutafsirkan mereka istri-istri Raja. Aku menatap kursi yang paling ujung. Itu pasti tempat duduk Raja. Membayangkan dia akan duduk di sana mendadak bulu kudukku meremang tanpa kuketahui.

Empat pelayan yang salah satunya adalah aku, berdiri bersisian di dekat pintu. Sebenarnya ini bukan tugasku. Hanya saja ini permintaan dari kepala pelayan secara acak. Menunggu panggilan yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Mengikuti ketiga pelayan lain aku menundukkan kepalaku. Aku tidak terlalu mengerti yang semacam ini. Aku yakin pekerjaanku di duniaku yang sesungguhnya pun juga tidak pernah berhubungan dengan hal semacam ini.

"Raja Gilgamesh telah tiba!"

Aku tidak tahu apakah kakiku masih bisa tegak untuk dipakai berdiri. Penyebutan tadi membuatku merasa kecil. Dia memang sungguh hebat, tapi kuharap dia tidak bisa membaca pikiranku.

Ketika langkah tegap penuh keyakinannya menapaki lantai ruang makan dan melewatiku, aku memejamkan mataku rapat-rapat. Kenapa, ya? Sulit untuk dijelaskan, tapi mungkin singkatnya, ada perasaan traumatis yang menjangkitku.

Saat itu juga aku memutuskan. Besok aku tidak akan berdiri di sini meski itu mempengaruhi gajiku.

~*O*~

"Shamhat, ayo pulang bersama!"

Seperti yang dikatakannya. Setelah makan malam, Enkidu memutuskan untuk pulang berasamaku. Oh, tentu aku tadi sudah pulang pergi mengantar makanan tiga kali.

"Tidak kusangka kau sampai mendapat kursi khusus di samping raja, mengalahkan selir-selirnya. Atau mungkinkah mereka juga selirmu?" Kuserahkan satu keranjang kosong padanya dan mulai berjalan meninggalkan ruang makan. Seperti tadi siang, kami berjalan berdampingan di lorong yang diterangi lentera berjajar.

"Raja bilang aku temannya yang sangat berharga, jadi dia memberikanku tempat itu."

Aku meneguk saliva. "Aku tidak terlalu mengerti, sih, tapi rasanya pernyataan itu sedikit mengerikan."

"Alasannya?"

"Tidak. Lupakan saja. Ngomong-ngomong, aku tidak melihat satu pun putra atau pun putri dari raja. Mungkinkah ada jam khusus makan anak-anak?"

Keluar dari lorong, kami masih harus menuruni puluhan anak tangga. Langit di luar sudah gelap. Dengan tanpa sedikit pun awan yang menggumpal, bintang-bintang tampak lebih banyak.

"Gilgamesh tidak punya anak, kok."

"Heh?!" Itu sungguhan? "Dengan istri sebanyak itu?!" Sembari melirik kanan dan kiri, sebisa mungkin aku mengecilkan suara.

"Ummm, mungkin ini karena kebiasaan buruk Gil saja," tuturnya ringan. Itu benar-benar seperti hal yang sangat biasa.

"Kebiasaan?" ulangku.

Enkidu menelengkan kepalanya. "Kukira Shamhat sudah tahu, karena ini telah menjadi rahasia umum."

"Aku tidak tahu. Memangnya apa?"

"Karena rahasia, tentu saja aku tidak bisa mengatakannya. Lagipula Gil, kan, temanku."

Aku kesal. Tanpa sadar aku memanyunkan bibirku. Tapi percuma. Enkidu tidak akan peka. Jadi kuputuskan untuk mengalihkan topik pembahasan. "Kau tahu banyak tentang raja, ya?"

Pemuda itu tersenyum lembut sebagai tanggapannya. "Oh, iya. Dalam waktu dekat, kami akan pergi ke hutan Arash. Mungkin akan lama."

Mendengar kata 'lama' entah mengapa membuat perasaanku menjadi tidak tenang. Sembari terdiam, aku mendengarkannya meneruskan bicara. "Raksasa yang menjaga hutan itu membuat takut para penduduk. Para pencari kayu yang menebangi pohon di hutan itu sebagai bahan bangunan tidak berani ke sana. Beberapa hari yang lalu juga ada laporan bahwa dua warga telah tewas diserang olehnya."

"Hmn."

"Tidak masalah, kan, jika aku meninggalkanmu sebentar?"

Cih. Rasanya kepalaku mendidih tanpa alasan setelah mendengarnya. Ingatan tentangnya yang memelukku sambil berjanji tidak akan meninggalkanku berputar-putar memuakkan.

"Tentu saja," balasku singkat. Aku bahkan tanpa sadar menggunakan nada dingin yang selama ini tidak pernah kutunjukkan padanya. Kupercepat langkahku sembari mengabaikan pemuda itu.

Untuk pertama kalinya aku marah padanya.

~~~TBC~~~

|•|
931 words
|•|

Publikasi [14 Juni 2020]

Salam hangat
Asano_H~

Shamhat [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang