Bagian IX : Mimpi yang Indah

346 55 6
                                    

"Shamhat, sudah pagi." Suara Enkidu terdengar samar dalam mimpiku yang hampir berakhir. Setengah sadar aku juga mendapatinya mengguncang-guncangkan tubuhku. Namun aku terlalu lemas bahkan hanya untuk membuka mata. Kepalaku juga terasa berputar-putar ketika kupaksa bangun.

"Shamhat." Sekali lagi dia memanggilku. "Aku harus segera pergi ke Ziggurat. Kau tidak apa-apa? Suhu tubuhmu lebih tinggi dari biasanya."

"Pergilah! Aku hanya belum ingin bangun." Mana mungkin kukatakan jika ini gejala demam. Syukurlah dia tidak mengetahuinya. Aku tidak ingin menghambatnya. Lagipula menurut perhitunganku aku lebih tua darinya. Mungkin ini sisi burukku sejak dulu, tapi harga diriku terlalu tinggi untuk orang yang lebih muda.

"Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai nanti."

Langkah kakinya terdengar dari tangga kayu di bawah. Sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya. Aku menghela napas dalam-dalam. Ini tidak bagus. Padahal kami baik-baik saja ketika tinggal di hutan.

Mengabaikan semua itu, aku mencoba bangun. Hanya demam biasa. Kurasa akan baik-baik saja jika hanya membersihkan rumah. Aku perlu mengubah tempat ini supaya sedikit lebih layak untuk ditinggali.

Mulai dari mengelap meja dan peralatan dapur. Mengumpulkan kain-kain yang tersimpan. Memperbaiki tungku dari tanah liat yang digunakan untuk memasak. Meski begitu, ternyata demam ini cukup menghambat. Aku harus sesekali mengistirahatkan diriku untuk meredakan pening atau pun mengatur napas yang memburu.

Ada dua guci berisi air di sudut ruangan. Karena tertutup rapat mungkin aku tidak harus membersihkan bagian dalamnya sekarang. Lalu untuk setumpuk kain ini, sepertinya aku harus mencucinya di sungai atau sumur. Ngomong-ngomong aku tidak tahu di mana tempatnya. Jadi kubiarkan dulu mereka mendekam di kursi. Lalu, di samping tangga masih ada satu ruangan. Terbagi menjadi dua, sebagian tempat untuk tungku dan sisanya mungkin mereka biasa menggunakannya sebagai kamar mandi?

Suhu di siang hari semakin panas, lebih panas, juga lebih kering daripada di hutan. Beberapa kali aku meneguk air dari kendi tanpa kurebus. Aku tidak sempat.

Ketika aku berniat kembali ke ruangan atas, pusing yang hebat menyerangku. Tubuhku sempoyongan sebelum kusandarkan ke dinding. Kepalaku semakin berdenyut. Saat itu juga kubiarkan diriku jatuh ke lantai sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaranku.

~*O*~

Aku tidak tahu berapa lama aku tidak sadarkan diri. Namun, dalam ingatan samarku, di remangnya cahaya senja yang masuk melalui jendela, dia kembali datang untukku.

Surai hijaunya yang panjang menggelitik leherku. Mata yang senada dengan surai itu menatapku khawatir. Air muka itu, aku tidak pernah melihatnya begitu sebelumnya. Berulang kali dia memanggil namaku sembari menanyakan keadaanku. Kalau saja aku bisa bicara saat itu, aku pasti akan menjawabnya jika aku baik-baik saja ketika dia datang untukku.

Sejurus kemudian tubuhku melayang. Dengan tubuhnya yang bahkan juga mirip perempuan, dia tetap menggendongku tanpa kesulitan yang berarti. Aku memeluknya. Merasakan tubuhnya yang hangat dan degup jantungnya yang lucu. Aku ingin waktuku berhenti. Aku ingin seperti ini, lebih lama lagi. Aku ingin selalu bersamanya.

Sayangnya aku bahkan juga tak sanggup untuk mengatakan itu. Ketika dia melepas pelukanku, aku merasa begitu ketakutan. Kuulurkan tanganku untuk menggapainya. Kumohon jangan tinggalkan aku. Akan kulupakan semua tentang diriku yang sesungguhnya. Akan kujalani peran Shamhat dengan sepenuh hatiku. Sebagai gantinya,

"Jangan pernah tinggalkan aku sendirian. Kumohon...."

Berjanjilah padaku.

Hangat. Aku senang ketika dia membalas uluran tanganku. "Aku akan menemanimu di sini."

Shamhat [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang