Suara seruling beralun merdu diantara sunyinya malam. Kunang-kunang nampak bertebaran berperan menjadi pelita. Seolah mempunyai banyak nyali, entah makhluh apa yang kini memainkan seruling ditengah malam diatas tanah kuburan. Duduk santai di atas bosan dengan kaki yang menyilang. Mulutnya terus meniup seruling yang dipegangnya. Ah benarkah itu seruling? Bentuknya...ehm
Tanpa disadari makhluk bersurai panjang tertegun berdiri diambang pintu area makam. Mungkin sudah sekitar 10 menit ia berdiri kaku disana. Dengan perlahan berusaha tak menimbulkan suara ia mendekat kepada sosok yang tengah asyik dengan kegiatannya itu. Sosok apa lagi nih ges?Suara burung gagak menghentikan aktivitas kedua makhluk tersebut. Suara seruling mendadak berhenti, sang pemain mengalihkan pandangannya kepada sosok bersurai panjang yang berdiri tak jauh darinya kini ikut menatap dirinya.
Dengan gerakan tergesa sang pemain seruling segera membenahi diri dan berancang pergi. Tanpa sengaja kedua matadari masing-masing raga itu bertemu. Hanya saling menatap tanpa ada sepatah kata.
Makhluk bersurai panjang, ah maksudku dia adalah seorang gadis dengan rambut panjang juga tak menghalangi kepergian sang pemain seruling. Jangan berpikir terlalu jauh, sang pemain seruling juga manusia. lagian hantu ngapain main seruling?kalo pocong mainnya lompat-lompatan, mbak sus mah mainnya ngesot-ngesotan yekan.
Siapa gadis berambut panjang yang tengah malam begini datang ke kuburan? Ah memangnya siapa lagi kalau bukan Vesta. Yaps, sudah menjadi aktivitas rutin mengunjungi makam seseorang disini. Tak peduli entah itu siang ataupun malam, kala rindu meyerang ia akan datang menjenguk liang yang menguburkan raga orang yang ia sayang. Asmara yang begitu mendalam,sepertinya Aprhodit terlalu membanjiri cinta kepadanya. Bukankah begitu?
Entah mengapa selalu ada yang hancur didalam dirinya, selalu ada yang luruh dari matanya dan selalu ada isak dari bibirnya tiap nisan itu tertangkap oleh pandangannya. Ia menghela napas kecewa saat sosok itu tak kunjung menampakkan diri. Lebih dari 30 menit ia berdiam diri nyatanya yang dicari tak kunjung menghampiri. Entah apa yang terjadi ia juga kurang mengerti.
Dengan berat hati ia pun akhirnya berdiri, bagaimanapun ini sudah larut malam dan ia harus pulang. Namun saat sekelebat ingatan datang ia menghentikan langkahnya. Kembali menoleh pada nisan bertuliskan Asensio Rekta , nisan yang sama dengan nisan yang diduduki manusia berjenis kelamin lelaki, sang pemain seruling. Seketika Vesta terbelalak.
“Suling itu…” ia merasa ragu, tapi ia yakin bahwa matanya tak salah melihat dan telinganya juga berfungsi dengan baik. Ah iya, meski terbilang mustahil tapi indra penglihatan dan pendengarannya tak dapat berdusta.
“ Death whistle” sambungnya lirih seolah masih tak percaya.
Death Whistle, sebuah seruling berbentuk seperti tengkorak manusia yang dibuat dari kayu ataupun tengkorak kepala asli. Jenis seruling langka yang dipakai suku Aztec. Mendengar namanya saja mungkin orang akan berpikir puluhan bahkan ratusan kali untuk mencoba memainkannya. Ditambah kisah-kisah mistis yang beredar dalam masyarakat akan fungsi seruling tersebut.
Ish, kini Vesta semakin yakin, bahwa seruling tadi memang death whistle. Bentuknya yang cukup unik serta suara yang dihasilkan tak dapat menipu pendengaran. Suaranya begitu melengking seakan alarm jerit kematian.
Vesta kembali mengedarkan pandangannya mencari sosok yang selalu ia rindukan. Namun entah mengapa mala mini sosok itu tak menyapanya. ‘apa kamu baik-baik aja?’ batinnya menjerit bertanya, syarat akan rasa khawatir yang tak dapat ia bending. Dengan langkah berat ia berjalan pergi meninggalkan pemakaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
VECTOR {HIATUS}
Roman pour AdolescentsRendam Brama Dalam Samudera Nikmati Siksa dan Nantikan Sirnanya -VECTOR Bukan tentang sebuah besaran yang memiliki nilai dan arah Tapi mereka yang bertekat namun terjerat Tentang Dia yang gigih menjadi bayangan... Dia yang tak lelah berada di belaka...