⚛SATU⚛

2.8K 279 53
                                    


Kabut putih tebal menyelimuti gelapnya malam. Sasadara di ujung antariksa nampaknya terhalang gelembung kapas hitam pekat. Sang kartika rasanya takut menampakkan diri. Entah mengapa malam ini terasa begitu mencekam, hewan-hewan enggan bersautan.

Langkah terseok-seok di ujung jalan tampak begitu mengerikan. Darah tercecer di setiap tapak kaki yang telah dilewati. Perhatikan lagi! Ah si gadis kabut kegelapan. Dengan rambut acak-acakan dan mata sembabnya begitu pula kaki yang berlumur darah ia terus melangkah menuju sebuah hunian manusia yang ditinggal nyawanya.

Suara cekikikan wanita di atas pohon kamboja menyambut kedatangannya. Hah, dia rasa itu bukan hal penting untung ditengok. Semerbak aroma dupa seolah mengiringi langkahnya. Terhenti di gundukan tanah, dan tepat saat itu pula setetes air mata jatuh. Dan seakan mengerti kesedihannya, tawa-tawa di sekelilingnya ikut terhenti. Pasang-pasang mata yang mengamatinya sejak ia menginjakkan kaki di tanah merah kini meredup. Burung gagak yang terus berputar mengelilingi pesarean kini memilih untuk rehat. Semesta ikut berduka merasakan luka dan derita yang ia bawa.

Dengan pandangan kosong seolah tak ada jiwa di dalamnya, dengan sungai kecil yang terus mengalir di pipinya ia berjongkok. Mengusap sebuah nisan di ujung gundukan. Asensio Rekta. Mata sayunya menatap sendu nisan itu. Dalam hati ia terus merapalkan doa dan mencurahkan isi hatinya. Tak ada yang tau apa yang kini bersarang di kepalanya.

Mungkin cukup lama dia disini hingga malaikat Mikail menurunkan rizkinya. Bulir-bulir air dari dirgantara membasahi dirinya. Seketika kepala yang ia tundukkan kini terangkat. Pandangan matanya terhenti di samping pohon kenanga. Sosok lelaki kecil yang kini tersenyum manis menularkan lengkungan di bibirnya. Dengan perlahan ia memejamkan mata kemudian berdiri dari tempatnya. Membalikkan badan dan membuka kelopak matanya. Ia berjalan meski dengan langkah terseok keluar dari hunian seseorang yang amat berharga baginya.

Gadis bersurai hitam itu dengan tertatih membawa raganya ke jalan raya setalah melewati jalan setapak yang berlumpur membuatnya beberapa kali tergelincir. Dengan penampilan tak layak pandang ia  terus berjalan menerobos hujan. Saat dimana kebanyakan manusia bahkan hewan-hewan memilih berteduh, ia merasa nyaman di bawah guyuran rinai hujan. Suara guntur terasa bak alunan merdu di telinganya. Ah sial, sebenarnya gadis seperti apa yang memiliki pikiran seperti itu.

Lelah berjalan, ia memilih duduk di trotoar membiarkan dirinya terhujami jutaan bulir air. Suara kendaraan yang masih melintas seolah tak menggangunya. Hingga telinganya berdenging mendengar suara kecil. Ditajamkan penglihatannya ke tengah jalan dimana makhluk manis itu berdiri basah kuyup. Ia  mengalihkan lagi pandangannya dan bertemu dengan sebuah mobil berkecepatan tinggi. Dengan gesit gadis itu berdiri dari duduknya berlari secepat mungkin meraih makhluk kecil itu dalam gendongannya.

Ciiiiiiiiiitttttt! Braaak

Suara decitan yang disusul suara hantaman begitu memekakkan telinga. Meski teredam hujan, suara itu cukup jelas didengar hingga beberapa orang yang berlalu lalang mengalihkan pandangannya. Tapi seolah buta dan tuli mereka memilih mengabaikannya. Hujan seperti ini terlalu malas untuk peduli. Ah, dasar manusia begitulah dasarnya sifat yang melekat dalam diri, seakan mampu hidup sendiri

Seorang lelaki dengan balutan hoodie biru laut itu keluar dari dalam mobil yang kini menabrak pembatas jalan. Dengan langkah tergesa ia menghampiri gadis yang terduduk ditengah jalan. Meski guyuran hujan begitu deras tak mampu menyembunyikan raut cemas dan khawatir di wajah tampannya. Jika dilihat lagi, ada amarah yang terpendam di matanya.

"Mbak ngapain duduk di tengah jalan hujan-hujan begini ha?! Asal Mbak tau, selain bisa membahayakan nyawa mbak sendiri juga membahayakan nyawa orang lain!"

VECTOR {HIATUS}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang