But do I still have your heart
Do I still cross your mind
Have we grown apart
Should we even try?*
Rasanya aneh, ketika orang yang selama ini berusaha menghindarkan diri mereka untuk berada di kehidupan kita, kini benar-benar kembali mengambil peran ke dalam kehidupan yang tidak lagi sama.
Yohan merasakan rasa aneh itu walaupun matanya sedari tadi tidak bisa berhenti menatap Yena yang berada di ujung pintu, sibuk mengabsen anak-anak muridnya untuk keluar kelas satu persatu meski sesekali melirik ke arah Yohan yang sedang memandangnya seperti tiada hari esok.
"Kim Yura!" absen Yena dengan senyum paling lebarnya saat Yura berjalan menghampirinya, "Tos Ibu dulu!"
Lagi-lagi, Yohan rasanya ingin merekam pemadangan hangat itu tapi jika dia mengeluarkan ponselnya untuk merekam, bisa-bisa dia dikira orang aneh oleh para Ibu-Ibu yang ada disana — ya, kali ini Yohan tidak telat mengantar ataupun telat menjemput Yura seperti apa yang Yena ingatkan kepadanya.
Setelah hari itu, mereka mulai kembali terbiasa dengan adanya eksistensi satu dan lainnya meski masih ada jarak yang cukup lebar di antara mereka namun begitu, hingga saat ini usaha Yohan sudah menghasilkan jawab dari alamat rumah dan nomor handphone Yena yang ternyata masih sama dengan sebelumnya.
Jangan tanya bagaimana bisa Yohan masih mengingatnya atau lelaki itu akan mengumpat malu mengingat usaha-usaha norak-nya dahulu.
Do not rush, Yohan teringat oleh satu kalimat dari Hangyul setiap dia merasakan jarak pembatas mereka. Semua harus dibawa pelan-pelan agar tidak menimbulkan kekacauan yang bisa membuat mereka kembali jauh atau bahkan, lebih parah dari itu. Lagipula, Yena tidak akan kemana-mana — setidaknya itu yang Yohan tancapkan dalam pikirannya selama tidak ada cincin yang melingkar di jari manisnya.
"Hey," sapa Yena dengan senyum manis terukir di wajahnya, "Katanya telat?"
Bukannya membalas, Yohan malah kembali bertanya kepada Yena, "Jadi text aku dibaca tapi gak dibales?"
Bibir Yena tertutup rapat selagi otaknya mencoba mencari sebuah alasan untuk itu. Ya, dia tidak bisa bilang kalau dia enggan membalas karena takut terbawa perasaan yang terlalu jauh kan? Plus, Yena masih belum tahu banyak tentang perubahan di dalam hidup Yohan. Yang pasti, dia tidak mau jadi yang kedua — eh, emang Yohan mau ngapain ke kamu, Na?
"Maaf, aku cuman sempet baca notifikasinya tadi," jawab Yena, berusaha sepolos mungkin.
Yohan menghela nafasnya sebelum merengek pelan, "Jangan anggurin aku lagi,"
Yena menggigit bibir bawahnya demi menahan rasa ingin mencubit kedua pipi Yohan, gemas. Bisa-bisa lelaki yang sudah berumur 27 tahun itu masih bersikap seperti anak seumuran Yura yang suka merengek jika tidak diberikan apa yang dia mau.
"Iya-iya, nanti aku bales kalau gak sibuk."
"Kalau nanti malem aku telfon diangkat juga ya?" pinta Yohan.
Bahu Yena terangkat santai sebagai jawaban, meski sebenarnya butuh waktu beberapa detik untuk Yena benar-benar memproses ajakan Yohan yang tidak secara langsung itu kepadanya.
"Kita lihat nanti aja ya, Han."
Yohan terbaring di kasurnya, matanya memandang langit-langit kamarnya dengan berbagai macam pikiran di kepalanya. Jarum jam sudah menunjuk ke arah jam 11 malam ketika Yohan berakhir mengambil ponsel miliknya dari nakas di sebelah kasurnya dan menelfon Yena di jam kritis itu setelah berdebat panjang dengan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALF OF ME | yohan x yena.
Fiksi PenggemarYohan harus sadar kalau alasannya selama ini tidak bisa kembali memberikan cintanya kepada wanita lain adalah karena Yena membawa sebagian dirinya meski setelah mereka berpisah dan keadaan tak lagi sama.