Kelingking kita berjanji
Jari manis jadi saksi
Bahagia*
Yohan menyenderkan punggungnya di kursi dengan santai sesampainya ia di depan rumah Yena. Kegiatan yang sudah menjadi suatu kebiasaan untuk Yohan setiap menjemput Yena, menunggu santai di dalam mobil bersama anak kesayangannya hingga nyonya besar (dibaca: Yena) datang untuk menghampirinya.
Baru saja ingin membuka ponsel miliknya untuk memberitahu Yena, suara ketukan dari jendela membuatnya meloncat di kursi sendiri. Belum lagi setelah melihat pelaku yang mengetuk kacanya, mata pria muda itu seketika melebar ketika melihatnya. Bagaimana tidak? Ayah Yena adalah sang pelaku yang mengetuk kaca mobilnya. Buru-buru lelaki itu melepaskan pengamannya dan keluar dari mobilnya lalu menunduk sopan.
"Om," Senyum tipis Yohan terlukis di wajahnya ketika menyapanya kaku sembari menunduk.
Ingin rasanya terlihat gagah dan berani, namun terakhir kali mereka bertatap muka, itu adalah ketika Ayah Yena belum menyetujui mereka — ya, Yohan sendiri belum sepenuhnya melamar Yena, juga. Tapi tetap saja, Ayah Yena tak lagi seramah dulu di dalam ingatannya. Setidaknya hingga detik ini.
"Kenapa kamu gak masuk?"
Bagi orang yang tak segan kepadanya, nada suara tersebut tidaklah menegangkan, tetapi Yohan adalah orang yang segan kepadanya. Nada tersebut terdengar seram di kupingnya.
"Boleh, Om?" tanya Yohan, terdengar polos juga bodoh.
"Dulu juga gak pake izin, tiba-tiba udah keluar dari kamar Adek," balas Tuan Choi yang tengah menggeleng kepalanya ketika momen kejadian lalu terputar di kepalanya.
Yohan langsung keringat dingin mengingat kebodohannya di masa muda. Diam-diam menginap di rumah Yena hanya untuk ketahuan di pagi harinya karena berpikiran bahwa kedua orang tuanya sedang pergi keluar kota, namun nasib berkata lain ketika sang Ayah muncul dari kamarnya yang bertepatan di sebelah kamar Yena — ternyata hanya Nyonya Choi yang pergi.
Untung saja waktu itu mereka terbukti tidak melakukan hal yang lebih aneh dari tidur berdua dan hanya diberikan nasehat yang sedikit — uh — memalukan kalau diingat-ingat.
"Ayo Han, masuk aja," ajak Tuan Choi seakan kejadian meja makan tidak pernah terjadi.
"Oh iya, Om. Siap!" sahut Yohan, "Aku gendong Yura dulu. Om duluan aja, nanti saya nyusul."
"Jangan lama-lama loh, Han. Pintu gak saya kunci, ya."
Yohan kembali mengangguk sebelum membukakan pintu mobil dari sisi Yura. Dirapihkannya baju Yura yang sedikit terlipat-lipat dengan senyum gigi kelincinya yang tak mau menutup karena hati yang terlalu senang.
Mungkin benar, selama ini memang Yohan saja yang takut dan memilih untuk menghindari ketakutannya yang seharusnya ia hadapi demi kelanjutan kisahnya. Jika saja dia lebih berani sedari dulu, mungkin cincin sudah terukir manis di jari manis Yena. Memang benar, penyesalan itu datang di akhir.
Kakinya berlari-lari kecil ke dalam perkarangan rumah Yena, tidak mau mengambil waktu yang lebih lama lagi dari sebelumnya. Ketika langkah kakinya terhenti di depan pintu yang sudah terbuka, Yohan membiarkan Yura untuk turun dari bahunya dan berjalan masuk ke dalam dengan hati yang sedikit berdetak tidak karuan.
Baru saja ingin menutup pintu di belakangnya, jeritan Yena mengambil atensinya juga orang tua Yena yang tengah berada di dalam rumah. Reaksi Yena memang sedikit berlebihan, harus Yena akui itu tetapi melihat Yohan di dalam rumahnya untuk pertama kali dari saat Yohan secara langsung tertolak, membuat Yena benar-benar terkejut. Lagipula selama ini Yohan selalu menolak karena belum siap untuk diintrogasi sang Ayah untuk kedua kalinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
HALF OF ME | yohan x yena.
FanfictionYohan harus sadar kalau alasannya selama ini tidak bisa kembali memberikan cintanya kepada wanita lain adalah karena Yena membawa sebagian dirinya meski setelah mereka berpisah dan keadaan tak lagi sama.