9 - Sesuatu Yang Tiba-Tiba

465 32 2
                                    

Trauma masa lalu membuatku lebih berhati-hati dalam memilih pasangan hidup

-Pelangi di Malam Hari -


"Yasmin?"

Aku terperanjat. Dia sudah berada dihadapanku. Ketahuan. Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal seraya tersenyum kaku. Malu sekali.

"Kamu ngapain di situ?" tanya Pak Rafa. Dia mengerutkan keningnya.

"Ini Yasmin lagi lipetin mukena." Dengan sigap, kulipat mukena yang masih berantakan. Melihat tindakanku yang spontan, Pak Rafa menggelengkan kepala. Setelah dia sudah menghilang dari hadapanku, akhirnya aku bisa bernapas lega. Kuhembuskan napas pelan. Rasanya malu sekali. Beruntungnya, Kak Dino sedang tidak bersama laki-laki itu.

Aku bangkit dari karpet hijau bergambar sebuah Ka'bah. Mengayunkan kaki melangkah keluar. Hujan sudah mereda. Langit sore dihiasi pelangi terlukis indah di sana. Pandanganku tak luput ke atas, takjub. Mengukir senyuman setiap kali melihatnya.

"Kak, ada pelangi," seruku. Aku terlihat seperti anak kecil. Kak Dino pun ikut tersenyum, dia sudah tidak heran lagi dengan sikapku. Lain halnya dengan Pak Rafa yang terkesan memasang wajah biasa-biasa saja.

Aku mengambil ponsel yang berada di dalam tas. Melambungkan ponsel itu mengarah ke langit. Lalu, memotretkan beberapa gambar. Setelahnya, kulihat hasil gambar itu. Aku tak berhenti tersenyum. Pelangi adalah kebahagianku sendiri.

Arti namaku memang bukan pelangi atau semacamnya. Yasmin berarti melati. Mungkin orang-orang berpikir aku menyukai melati. Tapi itu salah, aku lebih menyukai pelangi.

"Suka banget sama pelangi?" tanya Pak Rafa. Aku mengangguk penuh antusias.

"Kenapa?" tanyanya lagi. Aku ikut duduk di anak tangga masjid. Kak Dino dan Pak Rafa berada di atasku. Kami hanya selisih satu anak tangga.

"Pelangi itu indah. Banyak warna," jawabku seraya melihat ke langit.

"Biasa Raf, kayak anak kecil," ucap Kak Dino.

Aku melirik ke arahnya sambil mengeluarkan sedikit lidah. "Biarin, wlee."

Raut wajah Pak Rafa benar-benar datar. Dia tidak tersenyum ataupun cemberut. Aku menghela napas kasar. "Pak Rafa pernah senyum nggak sih?" tanyaku polos. Aku bertanya demikianpun dia tetap biasa-biasa saja.

"Dia juga manusia kali, Yas." Kak Dino terkekeh. "Kamu mau lihat senyuman Pak Rafa ya?" ledeknya lagi.

"Gak! Pasti gak menarik juga." Sesungguhnya, aku penasaran bagaimana senyum laki-laki itu. Apakah selama ini dia sariawan? Atau sudut bibirnya itu kaku? Sampai-sampai tidak bisa tersenyum.

"Senyuman saya itu mahal." Pak Rafa menyahut. Aku meliriknya dengan tatapan kesal. Demi apapun dia menyebalkan sekali.

Pak Rafa bangkit dari duduknya. Dia membenarkan ujung kemejanya yang sedikit berantakan. Aku melihanya sampai mendongak. Tinggi sekali. "Balik dulu ya, Din?" ucapnya.

"Oke, hati-hati," kata Kak Dino.

Dia menuruni anak tangga satu persatu. Tiba-tiba berhenti, menoleh ke arahku. "Oh iya, pamit ya Adiknya Dino," katanya lalu melanjutkan langkahnya pergi. Memang aku adiknya Kak Dino, tapi aku punya nama. Yasmin Andara. Apakah sesulit itu diucapkan? Kurasa tidak.

🍁🍁🍁

Kami kembali ke toko Ibu. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Pikiranku kembali mengingat tentang Dern. Inilah hal tersulit. Jika pikiranku tidak sibuk, maka yang berkeliaran adalah tentang dia. Rasanya aku ingin pergi dan mencari kesibukan di luar sana. Dengan begitu, mungkin tidak akan merasa kehilangan.

Aku duduk di samping Ibu. Dia menggenggam kedua tanganku. "Sesuatu yang baik, akan ditempuh dengan cara yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang tidak baik, akan ditempuh dengan cara yang tidak baik pula," ucap Ibu.

"Kamu pacaran dengan Dern aja salah, Yasmin," sambungnya.

Aku memejamkan mata sebentar, lalu menghembuskan napas perlahan. "Iyaa, Bu," jawabku lirih.

Kak Dino berbisik kepada Ibu. Entahlah membicarakan perihal apa. Kulihat Ibu mengangguk setelah Kak Dino berbisik. Dia menatapku dengan senyuman yang mencurigakan.

"Kakak punya ide!"

Aku mengernyit. "Apa?"

"Kamu nikah sama Rafa, ya?"

Buah pikiran Kak Dino mampu membuatku tersentak. Mataku terbalalak ke arahnya. Tidak salah dengarkan? Mengapa dengan mudahnya dia menjodohkanku dengan laki-laki itu. Dan Ibu pun menyetujuinya.

"Kata Kakak kamu, Rafa itu pria baik-baik. Ibu lihat sendiri tadi, dia terlihat begitu sopan," ujarnya. Seolah semua mendukung ide tidak masuk akal Kak Dino. Aku saja baru patah hati, masa disuruh menikah?

"Ibu, Yasmin masih trauma. Lagi pula, Yasmin masih semester 4," tolakku. Aku belum begitu yakin dengan pernikahan. Takut kejadian beberapa tahun silam terulang kembali. Aku belum bisa membuktikan kalau semua laki-laki itu tidak sama. Mungkin orang lain bisa membuktikannya, tapi aku tidak. Dern yang sudah kupercaya saja, ternyata selingkuh. Lalu, bagaimana sosok dia yang tidak akan berkhianat pada janjinya?

"Trauma itu bisa dihilangkan dengan seiring berjalannya waktu. Nah, dalam proses itu, kamu membutuhkan sosok yang akan menghilangkan ketakutan kamu selama ini," sanggah Kak Dino.

Aku merenungkan sejenak. Kepalaku terasa berat. Ditambah kejadian-kejadian masa lalu tidak lepas dari ingatanku. Lebih baik, aku istirahat di rumah. Mungkin bisa menenangkan.

"Ibu mohon, Yasmin. Kamu pertimbangkan ini," ucap Ibu. Setelah itu, aku pamit pada mereka. Kak Dino pun menatapku dengan banyak harapan.

🍁🍁🍁

Aku bergegas membersihkan diri. Walau cuaca di luar begitu sejuk karena sehabis hujan, tapi tubuhku terasa panas. Mungkin, karena efek pikiran yang sedang kalut.

Berhubung waktu sudah mulai memasuki malam, aku memilih menggunakan piyama lengan panjang bermotif hello kitty. Semua helaian rambut, ku jadikan satu. Mengikatnya dengan asal.

Ponsel yang kuletakan di atas meja belajar menjadi daya tarikku. Notifikasi bermunculan saat aku membuka aplikasi chat.

Bidadari Onlen (4 chat)

Zahira Rumiana : Ehh gimana lo sama Dern?

Chelsea Kallyta : Iya, Yas gimana?

Chelsea Kallyta : Udahan, kan?

Zahira Rumiana : Bubar aja udah! Gak bener dia.

Udah putus! : Yasmin Andara

Aku membacanya dengan satu tarikan napas. Aku lupa belum memberitahukan para Bidadari onlen. Kamu tahu siapa yang membuat nama grup itu? Chelsea Kallyta namanya. Saat kutanyakan, maka jawabannya adalah Kita ini bidadari yang nyasar ke media sosial. Sudahlah lupakan tentang nama grup tidak jelas itu.

Segelas jus orange menemaniku mengerjakan tugas dari Pak Kurian. Hampir saja terlupakan lagi. Pikiranku terlalu sibuk memikirkan urusan pribadi, sampai lupa tugas kampus. Kutekan tombol power pada laptop berwarna putih itu Membuka satu persatu tugas yang di kirim melalu email.

Tiba-tiba Kak Dino mengetuk pintu kamarku.

"Masuk aja, Kak," kataku. Tak lama muncul lah batang hidung laki-laki itu. Aku memasang raut bertanya-tanya.

"Kamu turun ya sekarang, udah ditunggu."

"Ditunggu siapa?"

"Rafa sama keluarganya," jawabnya.

Aku mengernyit tidak mengerti. "Mau ngapain?"

"Ya mau khitbah kamu lah." Mendadak aku menyemburkan air yang sedang diminum tadi. Berulang kali aku mengerjapkan mata. Pak Rafa tidak sedang bercandakan? Atau ini hanya mimpiku belaka? Sungguh membuatku terperangah.

- Pelangi di Malam Hari -

Selamat menunaikan ibadah puasa
Utamakan Al-Qur'an ya

Pelangi di Malam HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang