4 - Setelah Sepuluh Tahun

500 41 6
                                    

Setiap masa lalu mempunyai luka tersendiri. Dan mungkin, ada beberapa orang yang tidak bisa menyembuhkannya sendiri.

- Pelangi Di Malam Hari -

Setelah kejadian sepuluh tahun silam. Ibu memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Semenjak itu, aku jadi tidak pernah bertemu Ayah lagi. Tetapi, aku sering mendengar Ibu berbicara singkat lewat telepone. Seperti sudah metransfer sejumlah uang untuk kebutuhanku dan Kak Dino. Katanya, tanggung jawab seorang Ayah tidak akan pernah terputus.

Kata Ibu tadi, hari ini Ayah akan datang. Kudengar sedikit, saat ini dia sudah bertempat tinggal di Ibu Kota.

"Aku gak mau ketemu Ayah, Bu."

"Yasmin, Ibu mohon. Temui Ayahmu nanti."

Aku berlari ke ruangan pribadiku. Membiarkan Ibu yang masih memohon kepadaku untuk menemui Ayah. Sebenarnya, tidak tega melihat Ibu seperti itu. Dia hanya memintaku untuk menemui Ayah. Tapi itu sulit. Bertemu seseorang yang sudah menyakiti Ibu.

🍁🍁🍁

Aku merebahkan tubuh diatas ranjang berukuran single. Di setiap dinding terdapat panjangan foto-fotoku dari masa ke masa. Langit-langit kamar kuhias dengan bintang-bintang kecil dan bulan di sana. Dan di meja rias, kuletakan bingkai foto keluarga sewaktu masih kecil. Ayah menggendongku yang lagi menangis, Ibu berada disamping Ayah, lalu di depannya ada Kak Dino yang tengah tersenyum. Betapa bahagianya keluargaku dulu. Sebelum Ayah pergi meninggalkan kami.

Tok tok tok

"Yasmin." Suara ketukan pintu, diiringi suara panggilan dari Ibu membuyarkan lamunanku dari masa lalu.

"Masuk aja, Bu. Gak dikunci," kataku, masih berada diposisi yang sama. Namun, ketika Ibu datang, aku langsung duduk ditepi ranjang bersamanya.

"Ibu dan Ayah memang mantan suami istri. Tapi, kamu dengan Ayah bukan mantan anak atau mantan Ayah. Ayah tetaplah Ayah kamu, sampai kapanpun," nasihat Ibu hampir meneteskan air matanya.

"Buat apa Ayah kesini?"

"Sekarang dia tinggal di Jakarta."

Ibu menggenggam kedua tanganku. Menatapku dengan penuh harap. "Yasmin, suatu saat nanti, Ayah kamu yang akan menjabat tangan dengan calon suami kamu. Jadi Yasmin tidak boleh seperti itu sama Ayah, ya?" pintanya.

"Tapi, Bu ..." Belum sempat aku mengucapkan kata selanjutnya, Ibu sudah memelukku erat. Dia menangis. Semakin tidak tega aku melihat Ibu seperti ini.

"Yasmin akan temui Ayah!" putusku. Ibu segera melepaskan pelukan dariku sambil menghapus air matanya.

"Terima kasih, Yasmin," ucap Ibu tersenyum.

🍁🍁🍁

Ibu sedang berkutik di dapur. Kak Dino terlihat sedang mengetik sesuatu di laptopnya di ruang tamu. Sedangkan aku? Hanya memantau keadaan, masih dengan pakaian tadi sore dan rambut acak-acakan. Sejujurnya, jikalau bukan karena Ibu, aku malas sekali bertemu dengan Ayah. Akhirnya aku menggangti pakaian. Kupilih dress rumahan. Lebih simple dan sederhana.

Suara ketukan pintu dibawah, sampai terdengar kamarku yang berada di lantai dua. Aku menebak itu pasti Ayah. Dulu saat Ayah pulang kerja, aku selalu menyambutnya dengan antusias. Ayah selalu membawakanku sebuah susu kotak bervarian coklat. Jika tidak dibawakan, maka aku akan menangis dan meminta dibelikan saat itu juga.

"Yasmin!" Ibu berteriak dari bawah. sepertinya Ibu menyuruhku untuk turun dan bertemu dengan Ayah setelah sepuluh tahun lalu. Ku tarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan.

Ayunan kakiku terus melangkah hingga menuruni anak tangga satu persatu. Aku harus siap dengan ini. Seberusaha mungkin, aku menahan amarahku. Takut kalau mengecewakan Ibu.

"Yasmin!" Seseorang laki-laki paruh baya dengan pakaian jas hitam juga sudah tumbuh beberapa uban di rambutnya memanggil namaku.

Dia seperti bahagia sekali melihat kehadiranku. Oh Allah, aku kangen Ayah. Tapi rasa sakit mengalahkan itu semua. Sekuat tenaga aku menahan air mata yang siap jatuh.

"Wahhh ini Yasmin, anak Ayah yang dulu ..."

"Lagi pesta ulang tahun, tapi tiba-tiba dibatalkan," potongku cepat. Nada bicaraku pun ketus. Ibu langsung menegurku.

Ayah menghampiriku. Tatapannya seolah-olah menyesal dengan perbuatannya dulu. "Maafkan Ayah, Yasmin."

Aku hanya diam. Dari lubuk hatiku paling dalam, ada maaf untuk Ayah.

"Yasmin sekarang sudah besar ya, cantik pula," kata Ayah tersenyum. Senyum yang tidak pernah kulihat selama sepuluh tahun.

"Ini buat Yasmin, Ayah bawakan susu coklat." Ayah memberikanku sebuah paper bag berisikan beberapa susu kotak coklat. Ternyata dia masih ingat kesukaanku. Mataku tak kuasa menahan tetesan yang siap runtuh. Akhirnya aku kalah. Aku tertunduk lemas. Tanganku gemetar mengambil paper bag itu.

"Ayah masih ingat?" tanyaku gugup.

"Tentu, putri kecil Ayah." Dia mencubit hidungku. Sama seperti dulu, disaat aku nakal, maka Ayah akan mencubit hidungku.

Ibu menyuruhku untuk duduk disofa, sampingnya. Aku hanya mengangguk. Diikuti Ayah yang duduk di depan sofa yang sedang ku tempati.

"Sekarang Dino lagi sibuk apa?" tanya Ayah pada Kak Dino. Tanganku sibuk memainkan ponsel. Sebenarnya, ini kulakukan untuk menghilangkan canggung.

"Lagi sibuk kerja, Yah."

"Kalau Yasmin?"

"Yasmin!" Ibu menegurku lagi. Aku tidak sadar kalau Ayah tadi bertanya padaku.

"Ehh ... Kuliah," jawabku singkat.

"Aku ke kamar dulu, Yah." Merasa canggung dengan situasi seperti ini, akhirnya aku kembali ke kamar. Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kak Dino pun sama. Mungkin geram dengan kelakuanku.

Bukannya tidak menghormati Ayah. Hanya saja, rasa sakit dulu belum bisa disembuhkan. Setiap masa lalu mempunyai luka tersendiri. Dan mungkin, ada beberapa orang yang tidak bisa menyembuhkannya. Seperti aku.

Benar kata Ibu, Ayah tetaplah Ayahku sampai kapanpun. Tidak ada mantan Ayah. Tetapi, apa yang dilakukan Ayah justru membuatku membencinya. Andai dulu dia tidak melakukan itu, mungkin saat ini, keluargaku masih sempurna. Masih merasakan kasih sayang kedua orang tua tanpa kekurangan. Masih bisa merasakan bagimana dibelikan susu setiap Ayah pulang kerja. Dan tidak trauma dengan laki-laki. Ahh Dern saja butuh waktu lama untuk meyakinkanku.

Apa jadi anak aku terlalu durhaka? Sampai lupa menanyakan kabarnya setelah sepuluh tahun kami berpisah. Egoku mengalahkan segalanya. Arggh rasanya ingin menangis. Melihat wajah Ayah yang sudah tidak muda lagi, rasanya aku kasihan. Ingin memeluknya. Seperti sedia kala.

Aku mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Menghubungi seseorang untuk mengembalikan moodku.

Nomor yang anda tuju sedang sibuk
Silahkan hubungi beberapa saat lagi

Bukan Dern yang menjawab, melainkan malah operator yang selalu menjawab.

"Lagi telponan sama siapa sih Dern!" Aku membanting ponsel yang ku genggam di atas ranjang. Kesal. Sewaktu jaman pendekatan dulu, dia setiap saat ada untukku. Selalu bisa membuatku ceria lagi. Tapi sekarang? Di telpon saja sibuk. Makin kuat kecurigaanku pada dia.

- Pelangi Di Malam Hari -

Masih #dirumahaja kan?

Votenya jangan lupaaa

Pelangi di Malam HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang