19 - Sebuah Panggilan

375 26 14
                                    

Nothing :(

- Pelangi di Malam Hari -

Aku sudah terbangun sejak pukul setengah lima pagi. Tanpa Pak Rafa membangunkanku, aku sudah terlebih dulu membuka mata. Dan bergantian, aku yang membangunkannya. Pak Rafa membuka matanya perlahan. Lalu, duduk di sisi ranjang. Sepertinya dia kaget, melihatku yang sudah terbangun lebih dulu.

"Kamu sudah bangun?" tanya Pak Rafa yang sudah jelas-jelas aku berdiri di depannya.

"Ini bukan Yasmin," ucapku dengan nada berbisik.

Mata Pak Rafa mencari seseorang. "Terus istri saya mana?" Dia masuk ke dalam permainanku. Bibirnya seolah ingin menahan tawa.

"Sudah saya musnahkan dia." Aku terus berbicara dengan nada berbisik. Sambil melambungkan kedua tangan ke atas.

"Kamu berani sama istri saya? Dia kan galak, cuek, jutek, manja lagi," Pak Rafa menggantungkan kalimatnya, "tapi bikin kangen."

Runtuh sudah niat awalku ingin mengerjainya. Aku tersenyum mendengar kalimat terakhir.

Kulipat kedua tangan di dada. Lengkungan senyum manis kuganti dengan wajah jutek. "Ohh jadi Yasmin itu galak? Cuek? Terus manja? Iyaa?"

"Tapi bikin rindu. Padahal saya bukan Dilan, dan kamu bukan Milea." Ternyata Pak Rafa menonton film drama anak remaja juga. Aku pikir, dia tidak suka dengan genre seperti itu.

"Sudah sana ke masjid, bangun tidur bukannya cuci muka malah ngegombal," gerutuku.

Pak Rafa beranjak menuju kamar mandi. Terdengar suara gemericik air dari dalam. Aku mempersiapkan baju kantornya juga perlengkapan lain. Belakangan ini, mulai terbiasa dengan segala keperluan Pak Rafa. Rumah pun aku yang membersihkannya sendiri.

Dering ponsel Pak Rafa yang tergeletak di atas meja berbunyi. Aku meneriakinya dari luar karena ada panggilan dari Mami yang masuk. Pak Rafa menyuruhku untuk mengangkatnya.

"Assalamualaikum," ucapku saat koneksi terhubung.

"Wa'alaikumussalam."

"Ini Yasmin, Mi. Mas Rafa lagi di kamar mandi." Aku langsung menjelaskannya kenapa yang mengangkat panggilan itu aku, bukan anaknya.

"Yasmin, nanti kamu kuliah? Rafa sudah masuk kerja ya hari ini?"

"Iya, Mi. Mas Rafa sudah masuk kerja. Yasmin juga kuliah. Ada apa Mi?"

"Enggak ada apa-apa. Mami mau main aja," kata Mami. Tak lama, Pak Rafa keluar dari kamar mandi dengan handuk yang ia gantung di lehernya. Aku langsung memberikan ponsel itu kepadanya. Dan hanya mendengarkan apa yang Pak Rafa ucapkan saja.

Pak Rafa menutup sambungan telponnya. Aku langsung bertanya, "Kenapa, Mas?" Ehh ralat, aku langsung mengubah ucapanku, "Pak."

"Bagus," ujar Pak Rafa. Aku tidak mengerti maksudnya. "Panggilan Mas, gak usah diganti."

Aku berpikir sejenak. Memang seharusnya aku memanggil dia dengan sebutan itu.

"Tapi kalau kamu belum biasa, gak apa-apa kok. Saya gak maksa, senyamannya kamu aja," timpalnya lagi.

Aku mengangguk sambil menampilkan senyum selebar mungkin. "Iya, Mas Rafa Adnan Wiguna."

"Pinter banget sih istrinya Rafa Adnan Wiguna," katanya membanggakan diri. Aku tertawa mendengar itu.

Oke, mulai detik ini aku akan memanggilnya dengan sebutan Mas.

Itu pun kalau tidak lupa.

Setelah Mas Rafa merapihkan pakaiannya. Ia menyampirkan sajadah di salah satu bahunya. "Saya ke masjid dulu, ..."

"Kamu jangan lupa shalat, ya." Aku meneruskan ucapannya Mas Rafa dengan gaya nada bicaranya yang berat. Sudah tahu dia akan mengatakan seperti itu.

"Hafal aja sih." Dia mengacak-acak rambutku.

"Setiap Mas Rafa mau ke masjid, selalu bilang itu ke Yasmin."

"Ya terus saya bilang ke siapa lagi? Masa ke tetangga sebelah, kan gak lucu," komentarnya.

"Yaudah sana."

Mendengar aku berbicara ketus, Mas Rafa duduk di sisiku. "Tenang, saya gak akan bilang itu ke selain kamu."

Aku mendengus kesal. "Apaan sih? Maksud Yasmin, udah sana Mas Rafa ke masjid," ucapku, "Ke ge'eran sih."

Mas Rafa bangkit dari duduknya. Sebelum dia pergi, aku menyalami tangannya seperti biasa. Aku tersenyum ketika Mas Rafa pergi. Dia seperti pelangiku. Aku tidak ingin pelangi itu pergi, maka berusaha mungkin tidak membuatnya murka dan pergi begitu saja.

Seusai shalat subuh, aku segera bertempur di dapur. Hari ini Mas Rafa akan ke kantor, harus kubuatkan bekal. Ya, walaupun rasanya terkadang hambar atau keasinan, aku terus mencobanya.

Dengan keahlian yang ada pada tanganku, akhirnya makanan itu siap disajikan. Lega, karena tidak ada acara gosong di sini. Syukurlah, setidaknya Mas Rafa tidak terlalu keracunan ketika makan masakanku. Bekal dalam tupperware hijau sudah kuletakan di atas meja makan. Aku teringat dulu, saat membawa bekal dengan tempat makan tupperware, Ibu tidak pernah bosan mengingatkanku agar tidak hilang tempat makan itu. Kalau hilang, pasti akan di marahi Ibu. Tetapi, tidak dengan Ayah. Dia malah berkata, "Aset termahal itu keluarga, jadi tupperware Ibumu tidak ada apa-apanya. Nanti kalau hilang, Ayah ganti sepuluh." Perkataan Ayah masih saja kuingat. Dan sekarang semua perkataanya itu hanyalah omong kosong belaka.

Tiba-tiba Mas Rafa mengagetkanku dari belakang. "Astaghfirullah," ucapku saat melihatnya yang tiba-tiba muncul.

"Kenapa kok ngelamun?"

Aku memberikan sepiring nasi dan lawuk kepadanya. Dia menerima. "Enggak apa-apa. Cuma kepikiran tugas kuliah yang pasti numpuk."

"Jurusan kamu sama saya itu sama. Nanti saya bantu." Aku hanya tersenyum kecil. Dia memakan masakanku dengan lahap. Menurutku, tidak terlalu buruk dengan rasanya.

"Oh iya, tadi Mami telpon ada apa?" tanyaku mengubah topik pembicaraan.

Mas Rafa menghabiskan makanannya yang berada di mulut terlebih dahulu, barulah ia menjawab pertanyaanku. "Mau main, katanya bosen di rumah."

"Kapan? Mas Rafa kan ke kantor, Yasmin juga kuliah."

"Hari minggu. Saya libur," jelasnya. Aku mengangguk mengerti.

Jam dinding sudah menunjukan pukul tujuh. Mas Rafa bergegas mempersiapkan dirinya untuk berangkat ke kantor. Berhubung aku ada kelas siang, jadi bisa membereskan rumah terlebih dahulu.

"Awas nanti ketemu mantan lagi," sindir Mas Rafa. Aku menyalami punggung tangannya.

"Namanya sekelas, pasti ketemu. Yasmin juga tahu, Mas."

Mas Rafa mengelus pucuk rambutku. "Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawabku. Lalu, kendaraan roda empatnya menjauh dari halaman rumah. Aku menutup pintu. Kini saatnya aku yang bergegas membereskan rumah, lalu bersiap untuk kuliah. Ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Aku pikir, menikah selagi kuliah akan lebih mudah. Namun, kenyataannya tidak semudah itu. Karena kewajiban kita menjadi dua kali lipat. Kewajiban di rumah sebagai istri, dan kewajiban di kampus sebagai mahasiswi. Keduanya harus ballance.

- Pelangi di Malam Hari -

Pelangi di Malam HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang