7 - Rasa Kecewa

484 31 16
                                    

Jatuh cinta memang menyenangkan. Tetapi, patah hati adalah hal yang paling menyakitkan.

- Pelangi Di Malam Hari -

Kepalaku terasa pening. Banyak sekali yang kupikirkan. Mulai dari hubunganku dengan Dern, Kejadian di pesta itu, tugas kuliah yang numpuk., belum lagi Ibu yang selalu memintaku untuk mengunjungi Ayah. Rasanya ingin pecah kepala ini.

Dari insiden semalam, aku jadi teringat kata-kata yang diucapkan laki-laki itu. Meski raut wajahnya yang datar, tetapi dia melindungiku. Bahkan mengaku-ngaku sebagai calon suami. Bagaimana jika Allah mengabulkan doa itu? Hidup bersama es batu? Tidak ada senyum, tidak ada basa-basi, monoton. Membayangkan saja membuatku malas.

Saat ini aku, Zahira dan Chelsea sedang beristirahat di kantin. Kebetulan Chelsea kelas sianh, jadi kami bisa berkumpul lagi. Bisa disebut ini adalah rapat. Ya rapat mengenai hubunganku dengan Dern.

"Udah deh lo putusin aja!" ujar Chelsea.

Zahira mengangguk, menyetujuinya. Aku masih mempertimbangkan keputusanku. Percaya pada Dern tidak mudah, tetapi dia menghancurkan kepercayaanku dengan sekejap mata. Tidak adil.

"Banyak kali laki-laki. Tuh ada si Badrun, Tio, Raka," katanya lagi.

Mereka itu teman sekelas yang berusaha mendekatiku. Memberi coklat, bunga, dan hadiah yang lainnya. Tetapi, aku tolak itu semua. Bukannya apa-apa, hanya saja aku tidak ingin memberi harapan pada mereka.

"Beda, Chel."

"Saran gue juga, putusin aja dia. Kita nyari yang serius bukan cuma yang mau main-main aja," usul Zahira. Perkataan Zahira seperti Kak Dino. Dia memang suka sekali menasihatiku.

"Enggak semudah itu, Zah." Aku bersandar pada kursi sambil memijat pelipis dengan lembut.

Aku kecewa pada Dern. Tetapi, sulit jika untuk melepaskannya. Entahlah setelah ini aku bisa percaya lagi atau tidak.. Aku jadi ingat nasihat Kak Dino waktu melarangku berpacaran. Jatuh cinta memang menyenangkan. Tetapi, patah hati adalah hal paling menyakitkan. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Rasanya aku hanya ingin jatuh cinta, tanpa merasakan yang namanya patah hati.

"Kenapa sih gue harus percaya sama dia, kalau ujungnya dia bakal hancurin kepercayaan gue kayak gini?" kesalku.

"Pertanyaan retorik tau nggak! Tanya sama hati lo sendiri!" tukas Chelsea. Jari telunjuknya mengarah kepadaku.

Aku menggeleng. Daya pikirku lagi tidak kondusif memikirkan semua ini.

"Pikirin sekali lagi, Yas," kata Zahira, "dia aja udah berani selingkuh, gimana ke depannya?" sambungnya.

Chelse menyenggol bahuku. Tatapannya tajam kedepan. Tetapi bukan kepada Zahira yang duduk berada didepan kami. Melainkan kepada sosok yang berada dibelakang Zahira.

"Yasmin ..." Suara yang tidak kuinginkan kehadirannya. Kepercayaanku sudah hancur untuknya. Aku akan memutuskan permasalahan ini.

Zahira dan Chelsea paham akan sikap Dern yang ingin berbicara empat mata padaku. Mereka beranjak dari kursi dan berpamitan pada kami.

"Lima menit!" kataku tanpa memandang kearahnya. Pemandangan Ibu kantin lebih menarik dari pada wajahnya.

Dern menggenggam kedua tanganku. Segera kutepis. "Maafin aku, Yasmin."

"Aku mohon maafin ya?" bujuknya lagi.

Pandanganku beralih kearahnya sebentar. "Kepercayaan itu mahal Dern. Sekalinya runtuh nggak bisa dibentuk seperti semula!" tegasku. Mudah sekali dia meminta maaf atas kesalahannya yang fatal. Apakah semua laki-laki seperti itu?

"Suatu hubungan itu harus di landasi oleh kepercayaan."

"Bagaimana aku bisa percaya sama kamu lagi? Setelah apa yang kamu lakukan di belakangku?" balasku tidak terima atas pernyataannya. Dia berbicara seperti itu seolah-olah aku ini yang sudah menghancurkan kepercayaannya.

Aku menghembuskan napas gusar. Keputusanku sudah bulat. Aku paling tidak suka dikhianati seperti ini. Sama saja seperti membuka luka lama.

"Aku mau putus!"

Dern mengacak-acak rambutnya. Lalu, dia berusaha meraih kedua tanganku. Raut wajahnya sangat memohon. Tidak ada kesempatan kedua untuk seseorang yang telah bermain-main dengan kepercayaan.

"No, Yas! I'm sorry for all my wrong" Dia tetap berusaha membujukku. Sekeras apapun, aku tidak akan luluh.

"Maafin aku, Yasmin Andara."

"Kemarin itu sepupu aku."

"Yasmin dengerin aku dong."

Aku melirik arloji yang kukenakan sudah pukul tiga sore. Menyampirkan tas disebelah bahu. Lalu, segera beranjak dari sana. Dern terus memanggil namaku. Tetap, tidak akan kuhiraukan.

Langkah kaki diiringi dengan isakan tangis menjadi pusat perhatian. Berulang kali aku mengusap wajah yang sudah dipenuhi oleh butiran-butiran air. Mata dan hidungku mungkin sudah memerah. Bodo amat! Aku tidak peduli pada mereka yang memperhatikanku.

Aku memberhentikan taxi di depan kampus. Dengan terburu-buru aku langsung menutup pintu mobil. Dern masih mengejarku. Dia mengetuk-ngetuk jendela mobil yang sudah kututup rapat.

"Yas, Yas, dengerin dulu," katanya.

Dari dalam mobil aku menepuk bahu sang supir. "Pak cepetan jalan!" perintahku. Dia mengangguk.

Kendaraan roda empat yang kunaiki terus berjalan. Menyisakan kekecewaan yang teramat dalam. Sakit rasanya dikecewakan oleh manusia. Apalagi Dern adalah laki-laki yang sangat aku percayai setelah Kak Dino.

Rintikan hujan mulai membasahi bumi. Tetesan airnya menempel pada kaca hitam dari luar. Pandanganku terus memperhatikan setiap tetes air yang jatuh. Jika hujan turun, Ibu selalu membaca do'a "Allahumma shoyyiban nafi'an."
Katanya, hujan itu rahmat-Nya yang harus disyukuri. Aku pun lantas mengadah tangan untuk berdo'a.

Sekilas aku melihat ke arah belakang. Dern mengejarku, hingga akhirnya dia berhenti. Menatap kepergianku ditemani oleh derasnya hujan. Andai dia tidak main mata, mungkin aku masih bersamanya. Aku tidak akan patah hati. Dan tidak akan berpisah secara sepihak seperti ini.

Mungkin aku harus introspeksi diriku sendiri. Barang kali aku yang tidak memahami Dern, sampai dia bermain dengan yang lain. Hatiku selalu bertanya, Apa yang salah? Selama ini aku selalu mengerti dia. Hubungan kami pun terkesan baik-baik saja hingga Dern terbukti mendua.

Kesalahan Dern tidak bisa ditoleransi. Kejadian di masa lalu berputar kembali dalam ingatanku. Ayah pergi karena bersama wanita lain, dan sekarang Dern melakukan hal yang sama.

Berulang kali aku menghapus air mata yang berjatuhan di wajahku. Layar ponselku menyala, menampilkan walpaper fotoku dengan dia pada saat kami pergi ke pantai. Wajahku mendongak untuk melihat wajahnya yang lebih tinggi dariku. Dia pun menunduk menatap wajahku. Tangan Dern menggenggam kedua tanganku. Dan semua itu tidak akan bisa terulang kembali.

- Pelangi Di Malam Hari -

Votenya jangan lupaaa

Pelangi di Malam HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang