Empat

7.2K 866 52
                                    

Mew meletakkan kembali gagang telpon yang baru saja ia gunakan. Tak jauh dari gerbang desa terdapat sebuaj telepon umum tua yang keadaannya cukup memperhatinkan--beruntunglah benda tua itu masih bisa berfungsi. Bermodal beberapa uang receh serta ingatan tentang nomor ponsel Boss, berakhirlah ia menepati satu janjinya kepada si manajer menyebalkan itu.

Dan Mew memang sudah prediksi. Keluarganya menggila, dan tunangannya pun pasti tak tinggal diam. Mew hanya berharap Boss mengunci rapat mulutnya. Sepulang bekerja ia memberitahu Gulf untuk pergi sebentar--melihat lebij jauh pulau unik terpencil tempatnya berada. Memang sangat berbeda, beberapa rumah sudah memiliki listrik, tapi tak sedikit pula yang keadaan nya mirip dengan rumah Gulf. Mew bisa melihat garis laut diujung sana, warna birunya membuat siapa saja takjub, tapi Mew kini lumayan takut mengingat ia pernah mengambang diatas laut.

Mew terus berjalan dan menemukan sebuah pemandangan yang membuatnya kaget. Tak jauh dari pantai, sebuah pasar malam nampak hampir siap digunakan. Mew tak menyangka akan menemukan bianglala mini, rumah hantu serta banyak lapak pedagang yang sedang bersiap. Lampu kelap-kelip pun sudah menyala--hanya tinggal menunggu malam, dan semua itu akan terlihat apik.

Sebuah ide terlintas dikepalanya.

***

"Ah, sudah waktunya ya?"

Gulf menatap heran ketika Mew pulang sambil membawa cengiran bahagia yang nampak bodoh--Mew mencengkram bahunya erat lalu mengatakan jika ia melihat pasar malam didekat pantai. Gulf hanya meresponnya biasa, ia baru ingat karena memang 2 bulan sekali ada hiburan rakyat yang diadakan selama 3 hari disana.

"Ayo kita kesana! Kau harus ikut denganku!"
Mew menarik-narik tangan Gulf seperti bocah ingusan. Ia lupa jika dirinya berada dipenghujung usia 20an.

"Aku tidak suka tempat ramai."
Jawab Gulf. Ia kembali melanjutkan kegiatan menyapu rumahnya yang sempat terhenti akibat Mew. Mendengar respon tersebut, Mew mencak-mencak tak karuan.

"Oii--ayolah. Aku belum pernah naik bianglala kecil itu. Apa kau tidak kasihan padaku, huh? Na? Na? Ayolaaah!"
Gulf tak bisa menjawab rengekan Mew karena pria tinggi itu dengan tidak sopan mencubit dua pipinya keras. Gulf tak pernah diperlakukan seperti ini. Perasaannya campur aduk--ia kesal tapi perlakuan Mew kali ini benar-benar diluar perkiraannya.

"Lepaskan. Ini sakit."

"Ah. Maaf."
Mew baru sadar dan reflek menyembunyikan dua tangannya dibelakang. Gulf menatapnya kesal.

"Baiklah. Jam 7 malam kita kesana."
Jawabnya. Tak butuh waktu lama Gulf memilih pergi kedapur sambil mengusap pipinya yang berdenyut sakit.

***

"Kau mau yang ini?"

"Tidak."

"Yang ini?"

"Tidak.

"Yang ini bagaimana?"

"Phi Mew, aku ini laki-laki. Jepit rambit tidak cocok untukku."

Begitulah respon malas Gulf karena semenjak menginjakkan kaki dipasar malam ini, lelaki tinggi itu menawarinya banyak hal. Kembang gula, permen gulali, boneka beruang sampai yang paling aneh yaitu jepit rambut. Suasana nampak ramai, hiburan macam ini memang sangat dinanti oleh orang-orang yang tinggal jauh dari kota besar. Lampu-lampunya terang, berwarna-warni menambah keindahan malam itu.

"Aku ingin membelikanmu sesuatu. Ayolah, kau ingin apa?"
Mew sudah menerima gajinya bekerja di peternakan. Hasrat ingin membahagiakan Gulf mendadak muncul ketika melihat pedagang-pedagang yang menjual berbagai hal. Namun, memang seperti itulah Gulf, Mew butuh usaha ekstra untuk memancing reaksinya.

The Moon Is BeautifulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang