Duabelas (Last)

8.6K 881 156
                                    

"Phi Gulf... aku membuatkanmu makan siang." Pam mengetuk pintu kamar Gulf dan masuk kedalam. Menemukan Phi kesayangannya bergelung selimut bahkam menenggelamkan kepalanya sendiri. Gulf hanya bergumam bahkan tak mengindahkan dirinya yang membawa nampan dengan makanan diatasnya. Kepulangan Gulf sampai ketelinganya ketika Phi Mild mengajaknya menjemput Gulf di pelabuhan. Pam jadi semangat dan tidak bisa tidur saking antusiasnya. Ia ingin memeluk Phi-nya karena ia memang sudah rindu. Namun--ketika wajah Gulf muncul dihadapannya, Pam bahkan tak sampai hati ingin memeluk pria itu. Pam tahu--Gulf tidak menyelesaikan urusannya dengan Mew.

"Phi Gulf... kau belum makan apapun dari pagi." Pam menepuk-nepuk tubuh Gulf agar pria itu mengakhiri sesi berkencan dengan selimut dan bantalnya. Pam memaksa lagi dan akhirnya Gulf mau juga keluar dari sarangnya.

"Pam... terimakasih." Pam menatap Gulf yang masih memasang wajah seperti pertama kali ia melihatnya. Sama sekali tidak berubah dan mungkin saja kali ini makin parah.

"Phi..." Pam menggenggam tangan Gulf. "...apa kau baik-baik saja?" Pam bertanya pada akhirnya. Dilihatnya sorot mata Gulf meredup.

"Tidak." Jawaban singkat Gulf membuat sudut hatinya sakit. Ia letakkan piring berisi makanan itu di meja--tak butuh izin baginya untuk merengkuh tubuh pria yang sedang sedih itu. Jika Gulf se-lugas ini mengutarakan apa yang ia rasa--maka Pam yakin jika pria itu tak kuasa lagi menahannya.

Pam mengusap lembut punggung Gulf yang entah kenapa terasa lebih rapuh ketika ia sentuh. Pria itu tidak menangis--tapi Pam yakin sebenarnya tidak begitu. Tentang skandal itu--Pam ingin sekali bertanya apa yang terjadi, kenapa Gulf bisa terlibat didalamnya. "Pam..." bisik Gulf.

"Hm?"

Helaan nafas Gulf terasa memilukan. "Apa aku menyerah saja, ya?"

***

"Mungkin Gulf sekarang membenciku?" Monolog Mew bahkan masih bisa Boss dengar. Entah betul apa tidak keputusannya untuk tidak menjelaskan apapun yang terjadi pada Gulf--tentang keadaan yang sebenarnya, dan tentang masalah yang berusaha ia selesaikan sendiri. Boss menghentikan pekerjaannya sejenak. Melihat Mew menunjukkan gejala-gejala merindukan Gulf--pria itu akan mulai berkata hal yang tak ia mengerti.

"Ini semua adalah masalahmu, Phi. Jangan melibatkannya." Jawaban Boss adalah hal yang pernah ia katakan pada pria itu. Mew sangat paham--tentang perasaan Nam beserta segala kegilaan yang wanita itu lakukan adalah masalah miliknya--tak sepatutnya Gulf terkena imbas.

"Aku ingat wajahnya benar-benar terluka ketika aku mengantarnya pulang. Mungkin ia kecewa?"

"Ia akan lebih kecewa lagi jika kau tak mau membagi rasa sakit itu padanya." Boss menatap pria galau dihadapannya. "...Gulf juga mencintaimu, kan?"

Mew mengendikkan bahunya. "Entahlah--aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan sebenarnya." Mew menghela nafas kecewa.

Boss tergelak sendiri mendengae jawaban Mew yang menurutnya mengandung unsur lelucon. "Kalian ini--lucu, bodoh, idiot!"

Mew tak menanggapi Boss yang tertawa mengejeknya. Yah--memang kenyataannya begitu. "Lupakan saja--Gulf adalah urusanku." Mew melihat arloji yang melingkar ditangannya. "Semua sudah siap?"

Boss mengangguk. "Semua siap." Raut wajah Boss mendadak kaku. "...kau yakin ingin melawannya dengan ini?"

Mew terdiam sejenak. "Tentu saja. Dia akan belajar untuk tidak menantang Mew Suppasit dalam hidupnya."

Boss mendengus--jika Mew sudah begini, ia sudah tak perlu ragu lagi.

***

'Aku butuh bicara denganmu. Berdua saja. Temui aku besok, pukul 5 sore. Aku akan mengirim lokasinya besok.'

The Moon Is BeautifulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang