Sembilan

8K 925 81
                                    

Gulf membuka mata dan menemukan langit-langit kamar berwarna putih yang asing dibenaknya. Benar juga, tempat ini bukan rumahnya. Suhu tubuhnya menghangat dan hidungnya mulai mampet. Gulf sudah prediksi hal ini akan terjadi mengingat kemarin ia main hujan-hujanan dalam waktu yang lumayan lama. Sapuan nafas hangat dapat ia rasakan disekitar lehernya--Mew benar-benar tak melepaskannya barang sedetik. Pria itu memeluknya begitu posesif bahkan didalam tidurnya. Gulf menarik sudut bibirnya, ia bersyukur masih bisa bertemu dengan Mew.

"Maaf." Bisiknya pelan. Gulf mengusap helaian rambut Mew yang terlihat sedikit lebih panjang dari yang ia lihat terakhir kali. Lingkaran hitam samar terlihat dibawah matanya, jadi bukan hanya dirinya saja yang jam tidurnya terganggu, Mew pun sama.

Dan Mew benar-benar tertidur pulas. Seperti memang baru kali inilah ia bisa tidur dengan layak. Gulf membiarkan saja tubuh Mew yang menempel padanya, lagipula ranjang milik pria itu terasa sangat empuk dan nyaman. Dan seperti pengalaman yang sudah-sudah ketika ia bisa melihat wajah Mew dalam jarak dekat, Gulf akan memuji--betapa Tuhan sedang bahagia ketika menciptakan pria ini. Wajahnya membuat siapapun termasuk Gulf terkagum.

Rumah tempat Mew tinggal benar-benar mewah dan besar. Ketika malam, terlihat sangat terang dan jauh berbeda dengan dunianya. Gulf menyadaro betapa dalam perbedaan antara Mew dengan dirinya. Bahkan untuk menghitungnya, Gulf sudah kewalahan.

"Ah, aku tidak bermimpi."
Mew bergumam dengan matanya yang setengah tertutup. Gulf sama sekali tak menyadari jika pria yang tidur disebelahnya ini telah bangun. Mew mengucek matanya, Gulf tertegun kala Mew mengecup punggung tangannya lama.

"Kau demam."
Gulf tak menjawab perkataan Mew. Pria itu tak perlu jawaban darinya dan langsung merai ponselnya di meja nakas.

Gulf hanya memperhatikan, kala Mew berbicara pada seseorang diseberang telepon. Sepertinya ia sedang menghubungi seorang dokter.

"Dokter pribadiku akan kemari memeriksamu."
Mew masih memeluknya seperti semula. Gulf sedang berpikir bagaimana memulai percakapan yang seharusnya menjadi tujuannya mencari Mew.

"Sekarang kita bisa bicara." Mew menatap matanya, Gulf menemukan pantulan dirinya disana. "Kupikir...aku sedang bermimpi. Tapi ini terlalu nyata untuk jadi bunga tidur. Ternyata kau benar-benar disini... menemuiku."

Gulf mengangguk. "Phi Mew... aku benar-benar minta maaf tentang waktu itu." Mata Gulf berkaca-kaca tanpa sebab. Mew melihatnya dan mengusap helai rambut berantakan pria dipelukannya itu.

"Kau tidak salah apapun." Mew tentu ingat kejadian apa yang Gulf maksud. "Maaf aku tidak seharusnya cemburu."
Aku Mew akhirnya. Mengakui ketidakdewasaan nya dihadapan Gulf. Setidaknya begitu--ia tak ingin menjauh dari Gulf lagi akibat kebodohannya.

Gulf mengusap sudut matanya yang berair. Hanya sebuah kata-kata sederhana sudah berhasil ia utarakan. Dadanya tidak akan sesak lagi, pikiran nya tidak akan kalut lagi. Ia bernafas lega. Namun jawaban Mew membuat Gulf tergelitik.
"Cemburu?"
Wajahnya yang terlampau dekat dengan Mew membuat Gulf dapat merasakan ritme nafas pria itu meningkat.

'Tidak. Tidak sekarang, Mew.'
Batin Mew berbicara.

Mew menyentil dahi Gulf yang terbuka, memilih tak menjawab dan mencari celah nyaman diperpotongan leher seseorang yang ia rindukan ini. Mew bisa melakukan ini sepanjang hari--menyimpan Gulf untuk ia nikmati sendiri.

"Cepat sembuh. Banyak hal yang ingin kutunjukan padamu."
Bisik Mew.

***

"Ah. Baru kali ini kehadiranku mengganggu."

Boss berdecak kesal. Ia datang kerumah Mew bukan untuk menyaksikan adegan roman picisan menyebalkan yang mendadak terpampang dihadapannya. Gulf berulang kali minta maaf karena kedatangannya membuat Mew jadi malas keluar rumah untuk bekerja. Sedangkan Mew--jangan tanya lebih jauh, pria itu menggelayuti Gulf seperti bayi koala.

The Moon Is BeautifulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang