Bab 09 - Double Date?

86 19 2
                                    

Setiap yang menyayangi kita akan selalu menginginkan yang terbaik untuk kita, meski kita tak selalu menerima itu dengan baik.

•••••

Ana bersama beberapa teman seangkatan dan kakak tingkatnya sudah mulai proses menjalankan skripsi. Dibawa naungan dosen pembimbing yang belum menerima skripsi miliknya dan Linda, membuat penundaan sidang kelulusan dilakukan secara terus menerus.

Baru kemarin keduanya iri melihat keberhasilan Ica dan Nisa. Sempat berburuk sangka kepada Ica si istri dosen, dan Nisa yang rupanya sang kakak juga dosen.

“Ikhtiar dulu, jangan patah semangat gitu dong! Kalian pasti lulus tahun ini. Percaya deh sama gue!” Ica membantu menyemangati. “Sidang gue minggu depan, bisa jadi sidang kalian dua minggu ke depan.” Dalam hati Ana dan Linda mengaminkan.

“Pinginnya lulus bareng, taunya kagak.” Ana masih saja setia menggerutu.

“Sabar Ana, kalian belum beruntung aja,” kata Nisa.

“Eh, traktirannya dong buat skripsi yang udah diterima dosen,” kata Linda sambil menyenggol tangan milik Ica.

“Iya-iya gue traktir kalian berdua.”

“Eh bentar deh.” Linda tiba-tiba bersuara. “Ca.” Gadis itu memanggil Ica, menghadapkan seluruh tubuhnya ke Ica. “Pak Irhan ‘kan suami, lu?” Ica mengangguk dengan semangat.

“Jangan-jangan skripsi lu bisa diterima dosen karena Pak Irhan, ya!” tudingnya.

Ica menunjukkan deretan gigi putihnya. “Hehe. Iya sih, tapi dikit. Bukan dibantu nyusunnya, cara nyusun biar gampang diterima sama dosen, aja. Nanti gue bagiin itu ke kalian deh.”

“Enak banget ya punya suami dosen. Ini para dosen nggak mau nikahin gue apa? Sumpah gue lelah ni skripsi suruh revisi terus.”

“Nikah itu ibadah. Sekali seumur hidup, jangan dibuat main dong, Lin,” kata Nisa.

“Siapa yang buat main? Pekara skripsi gue serius, Nis.”

“Udah. Katanya mau gue traktir,” kata Ica menuding dirinya sendiri.

“Gue yang udah lulus juga ditraktir, ‘kan, Ca?” tanya Nisa.

“Beli sendirilah, wlee.”

—————

Setelah menerjang ombak besar serta badai yang begitu dahsyat, akhirnya skripsi yang disusun selama tiga hari tanpa berhenti dapat diterima oleh dosen kesayangan. Minggu depan mereka akan melaksanakan sidang kelulusannya.

“Na! Lo mau ikut gue, nggak?” Ica datang menghampiri Ana yang tengah sibuk duduk sambil menyeruput esnya.

“Ke mana?” tanyanya setelah meletakkan kembali gelas di samping bangku panjang di taman kampus.

“Jadi, gue ada acara gitu, dan gue butuh lo buat ngedampingin gue.” Ica ikut duduk di samping Ana. “Sehari aja, kok. Nggak lama serius.”

Ana terlihat menimang-nimang apa yang baru saja Ica katakan. “Acara, apa? Kok kayak penting banget.”

“Emang penting. Plis, ya? Kita ‘kan kawan.”

“Kawan kalau ada butuhnya.” Ica terkekeh. Di balik itu, hatinya bergumam, apa pun bakal gue lakukan, supaya lo nggak mikirin sahabat kecil lo yang nggak tau diri itu.

Benar sekali! Ica memang sedang merencakan sesuatu, bahkan Nisa dan Linda pun tahu tentang itu. Rencana ini dibuat untuk sahabatnya itu yang sedikit-sedikit mengingat sahabat kecilnya yang sudah berubah.

Selembar Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang