Bab 04 - Merubah Diri

114 19 3
                                    

Banyak manusia yang mengeluh dengan keadaan-keadaan yang menimpanya begitu berat, dan tanpa disadari, dengan cara itulah Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik lagi.

•••••

Hari demi hari selalu Ana lewati dengan hati yang jauh lebih lapang, berani, dan pastinya terlihat baik-baik saja. Ana membuktikan bahwa tanpa sahabat lelakinya itu, ia masih bisa hidup seperti dulu. Mungkin memang saatnya Ana menjauh dari Raffin. Menghilangkan semua perasaannya pada Raffin. Mari kita buat lenyap.

“Nah ... gitu dong ceria,” kata Ica sambil menjawil hidung Ana gemas.

“Iya Na, kamu harus ceria, kalo bisa berubah ya!” Nisa menambahkan.

“Berubah gimana, Nis?” tanya gadis itu tak mengerti.

“Berubah jadi pribadi yang lebih baik, kalo bisa auratnya ditutup. Sering-sering pakai rok, pergelangan tangankan ... termasuk aurat, pakai handsock, atau kaus kaki tangan. Terus biar dadanya gak kelihat pake jilbab yang menutup dada. Nggak harus syar'i banget, kok, yang penting nutup dada.”

“Solatnya juga harus lima waktu, ya! Jangan empat mulu, subuhnya jangan asik molor aja, Na. Lebih baik solat daripads tidur. Ini sih saran aku hehe.”

Apa emang saatnya gue harus berubah? Mendekatkan diri dengan Sang Illahi Robbi.

“Semoga aja gue diberi hidayah ya, Nis.”

“Ana, hidayah itu dijemput bukan ditunggu. Coba kita ke realita, katanya nunggu dia yang gak peka itu nggak enak. Jadi, harus jemput dong!”

“Itu nasihatinnya colab sama bucin, ya, Nis?” kata Linda sembari terkekeh.

“Apa itu bucin, Lin?” tanya Nisa. Memang di antara Ana, Linda, Ica, dan Nisa yang paling polos, pendiam, dan salihah adalah Nisa. Sahabat Ana memang sudah sempurna, keempatnya sudah saling melengkapi.

“Bucin itu Budak Cinta!” sahut Ica.

“Ah nggak mau ah, panggilan apa lagi itu? Nama ledekan aku banyak. Jangan ditambah-tambahin! Apalagi budak-budak, agama melarang tahu.” Ana, Ica, dan Linda spontan menepuk jidatnya.

"Idih, terserah lo dah! Lama-lama ngeselin.” Ica merengut, tapi detik berikutnya berkata, "tapi gue sayang kok, Nis,” katanya sembari tersenyum.

“Udah-udah, jadi pada nggak jelas gini. Terus gue harus gimana?” Ana melerai.

“Tetep pada satu tujuan kamu Na, kamu mau hijrah? Yuk kita hijrah bareng-bareng! Kita jemput hidayah itu,” ucap Nisa dengan antusiasnya.

“Emh ... kalo gitu gue mau hijrah juga deh, mau dapat jodoh yang baik hehe, soalnyakan jodoh itu cerminan diri,” kata Linda.

Nisa menggelengkan kepalanya. “Linda ... merubah diri kita untuk jadi lebih baik itu karena Allah, bukan karena manusia. Kalo kamu memang niat karena Allah, in syaa Allah yang lainnya akan mengikuti.” Linda seketika terpaku dengan apa yang baru saja Nisa ucapkan. “Kamu pernah denger, nggak? Kalau misalkan kita mengutamakan akhirat, semua yang ada di dunia ini bakal mengikuti. Contoh singkatnya, ketika kamu meminta gelas kepada orang. Lalu orang itu memberi kamu gelas. Padahal, niat kamu pakai air juga.”

“Tapi, beda lagi kalau kamu minta air. Pasti dikasih sama gelasnya. Itu perumpanan ketika kamu mengejar dunia (gelas), kamu hanya mendapatkan dunia, tapi kalau kamu mengejar akhirat (air), kamu akan mendapat dunia sekaligus akhirat.”

“Wah gue beruntung banget punya sahabat kayak lo, Nis.” ucap Ana, Linda, dan Ica serempak.

“Ma syaa Allah. Aku juga beruntung punya sahabat seperti kalian,” kata Nisa tersenyum, kemudian mereka berempat langsung mengambil peluk.

Selembar Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang