Extra Chapter

139 17 2
                                    

Tuhan memiliki plot twist dalam skenario yang Ia buat, dan semua terjadi selalu ada di batas kemampuan manusia.

•••••

Waktu berjalan begitu cepat. Satu tahun telah berlalu. Luka yang tidak bisa dianggap biasa, kini perlahan dapat disembuhkan.

Tak disangka, pernikahan Raffin dan Ana sudah berjalan tiga bulan. Mereka pun sudah dikaruniai seorang bayi yang masih di dalam kandungan.

Rencana Illahi memang tidak ada yang tahu. Siapa sangka, ikhtiar Raffin selama ini, jatuh bangun; ditolak, dibatalkan pernikahan, ditolak, hingga akhirnya pernikahan itu terjadi. Benar saja. Allah memang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Kini, Ana luluh atas izin-Nya.

Raffin mengelus perut Ana gemas. “For my dearest Son. Sehat-sehat di dalam perut Bunda, ya! Jangan nakal. See you delapan bulan lagi.”

—————

“Ayah ....”

Seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahun berlari menghampiri Raffin sambil menangis. Raffin merentangkan tangannya, menunduk, lalu menyamakan tingginya.

“Sayang, kenapa?” tanyanya.

“Lana kangen Bunda ....” Seketika Raffin terdiam. Celoteh kerinduan dari anaknya sungguh mampu menusuk hati.

Raffin mengelus pelan rambut anaknya. “Kita jenguk Bunda, yuk!” anak itu tersenyum lebar mengangguk begitu antusias.

Dia Rana Asfar. Anak semata wayang dari Raffin Ana. Dia tampan, lucu, dan pemberani seperti ayahnya.

Menaiki mobil, Raffin dan putranya segera meluncur menuju tempat di mana sang istri, yang tidak lain Ana berada. Lima belas menit dihabiskan untuk berkendara. Akhirnya keduanya sampai ditempat tujuan.

Sebuah tempat yang cukup luas dan terbilang elit di salah satu kota Jakarta. Luas, tapi dihuni oleh banyak manusia yang tidur menemui Rabbnya.

Raffin meraih tangan kecil milik Rana, mengajaknya berjalan mendekat pada alang-alang yang terdapat batu nisan bertuliskan “Riana Mawardi”.

“Sayang, kita datang lagi buat jenguk kamu. Kamu baik-baik aja, ‘kan, di sana?” tanya Raffin sambil mengelus batu nisan itu. Laki-laki itu menyatukan dahinya pada batu nisan sambil meneteskan air mata tanpa sadar.

“Bunda, Lana sekalang cudah besal.” Hampir pria itu lupa bahwa ia datang kemari mengajak putranya. Ia mengelus punggung Rana yang kini tengah mengusap tanah datar milik Ana.

Perempuan itu meninggal dunia sejak Rana berusia tiga tahun. Riwayat penyakit yang disembunyikan bertahun-tahun membuat Raffin merasa gagal menjadi suami. Harusnya, memang ia tak perlu menikahi Ana.

Jika saja pria itu tahu istrinya sakit, ia pasti tak akan membiarkan Ana melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang berat. Bodohnya, ia baru menyadari itu saat Ana sudah terbaring tak bernyawa.

Melalui surat pernyataan dari dokter yang Raffin temukan, Ana mengidap kanker paru-paru stadium akhir, dan kepergiannya kini sudah mencapai dua tahun lebih dua bulan. Lihatlah, Rana sudah berusia lima tahun sekarang. Besar tanpa bunda, bagaimana rasa yang dilalui anak kecil tak berdosa itu?

Semua pertumbuhan Rana diceritakan berdua oleh Raffin dan Rana. Setelah merasa sudah lumayan lama berada di pemakaman, Raffin mengajak putranya untuk kembali pulang. Ia yakin, Ana pasti akan baik-baik saja. Sekarang, ia sudah bersama Sang Maha Kuasa atas segala sesuatu di alam semesta ini.

Anak kecil itu menolak, tapi setelah dibujuk untuk akan dibelikan ice cream ketika mau pulang, Rana pun setuju. Zaman sekarang, anak mana yang menolak bila dibelikan ice cream? Bahkan, orang dewasa saja masih mau jika dibelikan.

Selembar Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang