Last Extra Chapter

148 19 4
                                    

Hidup terlalu misteri untuk bisa kita selidiki.

•••••

“Anda jangan ngomong macam-macam, ya!” Raffin menuding dokter itu dengan sorot mata yang tajam. Dadanya bergumuruh, diselimuti emosi yang menggebu.

“Sekali lagi mohon maaf tim kesehatan ucapkan atas kegagalan kami menangani pasien Rana.” Dokter itu terlihat menunduk. Mereka sudah mengupayakan yang terbaik untuk kesembuhan Rana, tapi, jika takdir Tuhan memang berlainan dengan harapan mereka semua, manusia bisa apa?

“Bohong!” Raffin meninggikan nada bicaranya. Ia mengusap wajahnya kasar, sebelah tangannnya mengepal hendak membogem dokter yang dianggapnya tak becus ini.

Namun, elusan hangat dari Ridwan menggangalkan pikiran tak waras milik Raffin. “Fin, sudah, Nak. Ikhlaskan Rana, ya?”

“Nggak!” tiba-tiba Vindy mengangkat bicara dengan nada tinggi. Dia melihat Raffin dengan penuh emosi. “Lihat, lihat akibatnya! Rana jadi meninggal gara-gara kalian orang dewasa yang tak tau apa itu mencegah!”

Rasyid menunduk. Ia merasa bersalah dengan semua yang terjadi hari ini. Coba saja jika ia tak mengajak Rana.

“Kamu!” Vindy menuding Rasyid. Pemuda itu ketakutan. “Kamu harus bertanggung jawab, Rasyid!”

Rasyid menyesal. Ini semua memang salahnya telah mengundang Raffin makan malam di rooftop. Jika tahu ini akan terjadi, Rasyid tidak akan menyuruh Raffin mengajak putranya. Lelaki itu sungguh menyesal atas perbuatannya.

Pelan, Raffin mendekat ke arah Rasyid. Tangannya mengepal, dan bugh! Bugh!

“Puas lo! Gara-gara lo gue kehilangan orang yang gue sayang!” kata Raffin dengan emosi yang berkecamuk.

“Fin, bukannya gue nggak mau merasa bersalah, tapi ini juga karna lo, ‘kan? Kenapa lo mau gue undang?”

Raffin seketika mengumpat. Menyebut Rasyid dengan hewan yang menggonggong. “Lo masih nanya? Jelas aja gue mau karna lo yang undang!”

Tidak peduli lagi, pria itu langsung masuk ke ruang IGD untuk melihat putranya. Ia berteriak, “Rana!!”

“Bangun, Nak. Jangan pergi, Ayah nggak bisa tanapa kamu.” Raffin menempelkan jidatnya ke jidat putra kecil miliknya dan sang istri.

“Ayah jangan nanis, tan Lana baik-baik, aja.”

Kepala Raffin seketika mendongak. Melihat putranya dengan mata yang tak lagi memejam, bahkan putranya terlihat seperti anak yang masih baik-baik saja.

Dengan polosnya anak kecil itu berkata, “Ini pleng, Ayah.” Otak Raffin sulit mencerna. Bingung sekaligus kesal. Ini prank? Tidak. Mungkin, pria ini sedang berhalusinasi. Tak mungkin, jelas-jelas ia melihat Rana jatuh tadi.

“PRANK!” tiba-tiba semua orang yang awalnya ada di luar menyeru, termasuk dengan dokter dan dua suster.

“Gila. Ini gila.” Raffin bingung, membuat semuanya terkekeh.

“Ini butan gila, ini lucu, Ayah,” kata Rana. Anak kecil itu bangun, menyandarkan punggungnya di ranjang brankar.

“Jelas-jelas gue lihat dia jatuh beneran. Kenapa bisa ini prank? Kalian sengaja buat gue gila?” tanya Raffin.

Tidak ada yang menjawab, kemudian seorang gadis dari arah luar masuk ke dalam ruangan. Ia menjawab sambil berjalan mendekat ke arah anak kecil yang sedang duduk di atas brankar. “Ketika Rana berteriak. Dia sedang berlari menuju lift. Ketika lift ditutup barulah kamu mencari keberadaan Rana. Lift itu, ada di dekat tempat Zara dan Rana bermain, mungkin kamu tidak melihatnya. Kamu menemukan Rana dalam keadaan jatuh di bawah. Itu hanyalah pewarna yang dibuat seolah itu adalah darah segar. Sebelumya kami telah melakukan settings,” ujarnya. Sontak Raffin menoleh, siapa yang berbicara?

Selembar Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang