Bab 02 - Cemburu

161 21 2
                                    

Sakit adalah ketika mengetahui kenyataan bahwa apa yang kita miliki tidak akan selamanya mengikuti apa yang kita mau.

•••••

Pagi yang cerah bagi Ana, setelah sekian lama merasa bahwa matahari ikut bersedih bersama dirinya karena kehilangan cinta pertama. Matahari yang tak mau menampakkan diri, membuat seluruh semesta kelabu. Ditambah rintik-rintik yang membasahi di setiap hari. Akan tetapi, hari ini berbeda. Nampak semuanya telah kembali.

“Udah rapi. Ambil tas dulu.” Ana memandingi dirinya pada pantulan cermin tempatnya biasa berhias dan mempercantik diri di sini.

Inilah Ana, balutan pasmina yang menutupi kepalanya. Ana bukanlah gadis yang berpakaian syari. Ia masih ragu dan belum kepikiran akan memakainya. Menurutnya pun, ia tidak pantas memakai pakaian seperti itu.

Ana bergegas menuruni tangga. Tepat di anak tangga terakhir, ia memandang lantai yang menjadi tempat papanya tiada.

“Ana. Akhirnya kamu keluar kamar. Mau kuliah, ya? Sarapan dulu yuk!" Nia dengan tampilan senyum menawan melihat ke arah Ana dari meja makan.

“Next time aja. Gue udah telat,” sahutnya ketus, lantas berlari keluar rumah.

“Ana! Salam dulu!" teriak Nia begitu Ana tidak menyalami tangannya dan memberi salam atau basa-basi kepadanya. Tak ada jawaban dari sang empu, mungkin Ana tidak mendengar pikir Nia.

Kampus telah gadis itu datangi, Ana turun dari motor Raffin, dan berlari kecil menuju temannya.

“Eh Bodong! Mau kemana lo?” teriak Raffin.

“Bukan urusan lo Tong!” balas Ana ikut berteriak, karena jaraknya sudah mulai jauh dari Raffin.

Ana menghampiri temannya. Menyeru dan langsung berteriak memanggil sebayanya. Rasa rindu Ana kepada mereka masih terasa. Setelah tiga hari terakhir tidak bertemu untuk sekadar menyapa, akhirnya terobati juga.

“Ana!!” tiga temannya itu tidak kalah histeris. Mereka berlari kecil mendekat ke arah Ana.

“Ah ... gue kangen sama kalian,” katanya penuh gembira. Tanpa Ana dan teman-temannya ketahui. Nampak seorang pria ikut tersenyum melihat Ana bahagia.

“Ya lo sendiri! Gue, Nisa dan Linda mau ketemu sama lo, tapi lonya aja yang ngotot kepingin sendiri,” cibir Ica salah satu di antara ketiganya, dia yang paling tinggi di antara teman-temannya.

“Iya deh maapin gue. Gue terpukul banget waktu itu,” kata Ana yang seketika menundukan pandangan ke bawah.

Tiba-tiba pria tinggi menghampiri Ana dan teman-temannya, “Seharusnya di waktu yang terpukul kaya gitu, lo butuh teman-teman lo kaya gini. Lha lo? Nyusahin gue aja,”

“Raffin?” iya, pemuda itu Raffin.

“Apaan sih lo Tong? Udah ah sana-sana hussss huss gue mau kangen-kangenan sama temen-temen gue. Ngapain lu ke sini. Mau belajar jadi cewe?” Raffin seketika begidik ngeri, lantas pergi meninggalkan Ana dan yang lain.

Setelah kepergian Raffin, Ana dan teman-temannya memilih masuk ke dalam kelas. Anehnya di dalam kelas begitu sepi, biasanya faktor yang terjadi karena diketahui dosen tidak hadir. Otomatis tidak ada kelas hari ini. Ana dan ketiga temannya memilih duduk di kantin. Karena, sejak tadi pagi Ana juga belum sarapan.

“Eh Ana, lo sama Raffin ‘kan dah temenan lama nih ....” Linda memulai pembicaraan saat mereka tengah menyantap mi ayam yang sudah tersedia di hadapan masing-masing.

Selembar Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang