12. OENOMEL

20 8 1
                                    

Bab ini dikerjakan oleh DeswitaAera dan STEVANYLA

Terdiri dari 2213 kata

Di bab kali ini memakai POV 3

🥁

"SUDAH CUKUP! APA-APAAN INI!" Terdengar teriakan yang menggelegar.

Semuanya terdiam. Kapten yang Aqqia lawan, menunduk hormat ke arah pria tua berjanggut putih yang sedang berdiri sambil berkacak pinggang di gerbang.

"Alkane! Kemari kau!" Pria tua itu menatap kapten kalajengking --yang diyakini bernama Alkane-- dengan tatapan tajam dan murka.

Dengan langkah tertatih, Alkane berjalan menghampiri pria tua itu.

Alkane kepalanya tertunduk hormat. "Maaf, Yang Mulia Raja."

"Jelaskan, sebenarnya ada apa ini!" Agler menatap sekelilingnya. Para tentara tergeletak di tanah dengan tubuh bersimbah darah. Pikiran negatif bermunculan dikepalanya.

Alkane dengan tubuh yang sudah tidak sempurna hanya bisa menunduk.

"Gawat, pasti Yang Mulia akan membunuhku!" Alkane membatin gemetar. Agler --rajanya itu-- bila sudah emosi, tidak ada yang bisa meredamkan emosinya.

"Kapten Alkane! Jawab, tidak sopan mendiamkan Raja!" Agler menendang kaki Alkane, membuaat Alkane jatuh terduduk. Darah terus mengalir tanpa jeda dari dada dan tangan kanannya. Wajah Alkane semakin terlihat pucat, dia sedang menahan rasa sakit.

Aqqia mengatupkan mulutnya yang sedari tadi terbuka, ia memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang. Tentara kalajengking yang ada di hadapan Nara, Javan, dan Nedhia berlari, menghampiri kapten mereka yang mungkin sebentar lagi akan mati.

"JAWAB! DASAR KALIAN MAKHLUK JELATA TIDAK TAHU SOPAN SANTUN!" Agler berteriak murka.

Nara menaikkan sebelah alisnya. "Lebay sekali Raja kalajengking satu ini. Cuma sebelas anggota tentara saja, sudah kaya ribuan." Nara membatin, dia mencebik dan ikut memasukkan pedangnya ke dalam tempatnya, begitu juga dengan Javan dan Nedhia.

Nedhia menghampiri Aqqia dan langsung memeluk lengan Aqqia, dia berbisik, "Aqqia, sepertinya Raja itu sangat marah. Mengerikan, ya."

Aqqia menatap Nedhia sesaat, lalu menengadahkan kepalanya, tidak peduli dengan keberadaan raja kalajengking itu. Matanya menatap langit oranye khas sore yang kini warnanya mulai berganti menjadi warna jingga. Lagi-lagi ia membunuh seseorang, bila Aqua masih hidup, dan tahu kalau Aqqia melakukan hal ini, bisa dipastikan bahwa sore ini juga Aqqia akan langsung diusir dari rumah dan dicoret dari daftar keluarga. Kejam, tapi disiplin, itulah Aqua Cataracta.

"Aqqia, kamu lagi lihatin apa, sih?" Nedhia ikut menatap langit dengan kening berkerut. Aqqia menoleh ke Nedhia, mata mereka saling bertemu pandang. Sekilas, Aqqia melihat Nedhia seperti sedang melihat sahabat kecilnya yang kini telah tiada.

"Err, engga lihat apa-apa, kok. Ngomong-ngomong, tadi kamu ngomong apa? Kenapa dengan Rajanya?" tanya Aqqia, sekedar berbasa-basi.

Nedhia mendengus pelan. "Tuh, lihat! Rajanya serem banget!"

Aqqia hanya mengangguk-angguk. Matanya menatap raja kalajengking itu malas, menurutnya sifat emosi yang dimiliki raja terlalu lebay.

"Harusnya nanya dulu, sebenarnya apa yang sedang terjadi, terus kasih kesempatan pada si kapten sialan untuk mejelaskan. Eh, ini malah langsung ngomel tanpa jeda. Tch, dia tidak cocok untuk menjadi Raja sama sekali." Aqqia mendengus kesal. Matanya membulat saat menyadari suatu hal yang janggal. "Eh, tunggu. Tahu dari mana dia kalau kami sedang bertarung? Apa suara pedang dan pekikan ini terlalu kencang, sampai-sampai Raja saja mendengarnya." Aqqia membatin heran. Dia celingak-celinguk mencari sesuatu. "Apa ada seseorang yang melihat dan mengadu?"

OENOMELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang