Visesa

2 0 0
                                    

Hawa bahagia masih sangat terasa. Berulang kali ku dengar, Mas Vian, ya.. Aku dipaksa memanggilnya begitu, bersiul dan mengikuti lagu yang sengaja disetelnya untuk menemani perjalanan kami. Aku hanya bisa tersenyum geli padanya.

Giel nampak tenang tidur di belakang. Dia terlihat sangat letih. Hanya karena ingin menjadi sepupu yang berguna bagi Tiara, laki-laki mungil itu antusias untuk belajar dan melatih dirinya. Dan tekadnya yang kuat itu membuatnya berhasil.

Seketika aku salut pada Mas Vian, bisa mendidik Giel seperti ini. Dia Single parent, itu kata mbak Rindu. Single parent yang sukses menurutku.

Tunggu..
Aku nggak lagi muji dia kan.
Sial...
Kenapa aku jadi merasa malu.

“Bunda...”
Rengekan Giel, membuat kami terdiam.

Seketika Mas Vian mematikan musik, lalu menepikan mobil segera. Dia melepas safety belt, lalu turun dan menuju kursi belakang.

“Shit..”
baru kali ini aku mendengar dia memaki. Tampak panik, dia segera kembali ke balik kemudi.

“Giel demam.”
Katanya itu mampu membuatku tak berkutik. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku gelisah.

Mas Vian tampak menepikan mobilnya di depan apotik. Cepat dia berlari, mungkin membeli obat untuk Giel.

Aku melihat Giel yang masih mengigau. Aku cemas, tapi bingung. Ini pertama kali nya, aku melihat anak kecil sedang sakit, jadi aku tidak punya pengalaman harus bagaimana.

“bunda...”
Hatiku terasa teriris setiap mendengar apa kata yang diigaunya.

Mas Vian datang, membuka pintu belakang lalu menutupnya. Dia meminta tolong padaku untuk memegang sekantong kresek yang di belinya dari apotik tadi, entah apa saja, yang pasti aku melihat kompres demam instan salah satunya.

“Tolong bukakan tisu basahnya, echa.”
Pintanya padaku sambil membuka satu persatu baju Giel.

Kuberikan tisu basah padanya, dan mulailah dia menyeka keringat Giel yang membanjiri seluruh tubuhnya. Kemudian ia keringkan dengan handuk yang di ambilnya dari jok belakang. Setelah kering, ia memasangkan baju bersih.

“obat sirupnya tolong dibuka, echa. Tolong tuangkan 1 sendok.”
Kuberikan padanya.
Dibukanya mulut Giel, dan mendongakkan dagu Giel sedikit agar obat masuk. Tidak perlu minum ku rasa, karena obat untuk anak-anak mungkin rasanya strawberry atau jeruk.

Setelah itu, ditidurkannya Giel kembali, dibetulkannya bantal di bawah kepala Giel. Dia ambil selimut dari jok belakang untuk menutupi tubuh Giel.

Diraihnya kantong kresek dariku, lalu dibukanya kompres instan yang kumaksud tadi, dan ditempelkan ke punggung dan dahi Giel.

Hendak kembali ke balik kemudi, Mas Vian terhenti.

“Bunda...”
Mas Vian mengusap kepala Giel lembut, lalu mencium keningnya lama. Dielusnya perlahan kepala Giel, agar anak itu kembali tenang.

Tak terasa setitik air mata jatuh di pipi dan cepat ku hapus. Aku tahu bagaimana rasanya sakit dan butuh pelukan bunda, tapi bunda tidak ada.

Pemandangan ayah dan anak ini, mengingatkan hidupku bersama Mas Arkan. Di saat aku sakit memanggil bunda, Mas Arkan lah yang akan memeluk, menguatkan, dan memberikanku kenyamanan. Aku seakan tergerak, aku ingin melakukan sesuatu.

“ehm.. Mas, boleh aku aja yang jaga Giel di belakang? Mas bisa tetap tenang menyetir, biar kita lebih cepat sampai, dan Giel tidur nyaman di ranjang nya sendiri.”
Mas Vian nampak ragu, namun akhirnya dia menyetujui ide itu.

Segera aku pindah ke belakang. Aku angkat kepala Giel dan memindahkannya ke atas pahaku yang telah ku beri bantal sebelumnya.

Mas Vian nampak mulai melajukan mobil. Aku pandang wajah laki-laki mungil yang tadi tampak sangat antusias bahagia, kini terbaring tak berdaya. Aku elus kepalanya lembut. Ku seka keringat yang membasahi dahinya.

Seketika air mataku jebol. Tidak bisa lagi aku tahan. Giel sudah tidak mengigau lagi. Nafas nya yang memburu, berangsur teratur. Hanya tinggalah aku kini, yang berusaha menghalau air mata, yang tidak bisa berhenti sejak tadi.

*****F.T.W*****

1 jam kemudian kami sampai di depan rumahku. Aku berniat menolak, agar Giel diantarkan lebih dulu, dan biarkan aku pulang menaiki taxi online, Mas Vian tampak keberatan. Dia hanya bilang sesuatu yang sukses membuatku terdiam, dan tidak berkata lagi.
“saya nggak bisa membiarkan kamu pulang sendiri, sedangkan saya di rumah akan seperti orang gila, cemas memikirkan kamu.”

Mas Vian turun dan bergabung di belakang bersamaku dan Giel. Dia duduk berdampingan denganku, terlalu dekat.

Lengan kananku bahkan bersentuhan dengan dadanya. Hingga aku bisa menghirup wanginya yang masih segar sekalipun seharian kami sudah melakukan banyak aktivitas.

Deg... Deg... Deg...
Aku menunduk melihat wajah Giel, mengalihkan rasa yang tiba-tiba menyerangku.

Kulihat Mas Vian menyentuh kening Giel.

“Demamnya sudah turun.”
Aku hanya mengangguk. Masih ku elus kepala Giel.

“Dia hanya kecapekan.”
Aku mengangguk lagi.

“kamu nggak perlu khawatir.”
Aku mengangguk lagi.

“Yang perlu kamu khawatir kan hanya aku.”
Aku mau mengangguk lagi, tapi.. Loh kok...
Seketika aku melihat wajah Mas Vian.

Aku terhenyak. Dia menatap mataku dalam. Hingga ku rasa, aku tak mampu melawan tatapan itu, aku menunduk, tapi dengan cepat Mas Vian mencegahnya.

Tangannya menarik daguku terangkat. Di elus nya pipiku lembut. Hatiku bergetar. Jantungku kian hebat berdebar.
Lalu...

Cup...

Diciumnya keningku.. Lama. Aku diam, tak berkutik.

Aku tak bisa membohongi diri sendiri bahwa sisi hatiku menerimanya. Nyaman. Tenang. Hingga aku tak sadar sudah berapa lama, bibir itu berdiam di keningku.

Mas Vian melepasnya. Tapi dia bahkan tidak membiarkan hatiku untuk terus tak bergetar. Dia menempelkan hidungku dengan hidungnya, mengunci kedua pipiku dengan kedua tangannya. Aku menutup mata.

“Terima kasih untuk hari ini, echa. Ini pertama kalinya, saya tidak ingin menghentikan senyuman saya.”
Aku hanya diam.

“Untuk ke depannya, saya pastikan kamu akan sulit lepas dari saya.”

Deg... Deg... Deg... Deg.... Deg...
Jantungku menggila.

Mas Vian mengelus lagi pipiku lembut. Ia hapus sisa-sisa air mata yang turun di bawah mataku.

Ia bergeser sedikit ke depan, lalu ia mengangkat kepala Giel, agar aku bisa berpindah sedikit ke samping, dan di letakkan nya kepala Giel di kursi yang tak kami duduki.

Ia keluar dengan susah setelahnya karena posisi kami. Lalu digenggamnya tanganku dan menarikku turun.

Dia berjalan membuka pintu pagar rumahku, masih dengan tangan kami bertaut, aku berhenti. Dan dia terpaksa menghentikan langkah.

“Kenapa?”
tanyanya lembut.

“Di.. Sini.. A.. Ja, ma.. S.”
Jawabku terbata

“Saya harus pastikan kakakmu melihat saya mengantarmu selamat sampai di depan rumah.”

“Mas Ar.. Kan masi..h ada keper..luan di luar. Tadi dia pamit ke saya, pulang telat.”
Mas Vian hanya mengangguk. Aku menunduk tak berani menatap matanya.

Lagi-lagi dia menyentuh dagu ku halus dan mengangkatnya.

Cup...
OMG..
Keningku lagi mujur kayanya ini.

“pasti banyak pertanyaan di dalam sini sekarang.”
Katanya sambil menyetuh pelipis ku.

“.... Nanti, echa. Saya pasti akan kembali nanti, untuk membuatnya jelas.”
Lanjutnya.
Aku mengangguk ragu.

“Hati-hati di rumah ya. Sekali lagi, Terima kasih untuk semuanya hari ini.”
Mas Vian tersenyum, pergi meninggalkan aku dengan tanda tanya besar, dan degupan jantung juga hatiku yang sungguh tak bisa ku kendalikan.

*****F.T.W*****

Love Mission ComplitedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang