Arkan

5 0 0
                                    

“Jadi... Bisakah Mas jelasin ke aku, kenapa muka mbak Rindu kaya malu ketemu aku setelah kemarinnya Mas narik dia gitu aja dari Villa, pake nggak inget kalo adiknya ada situ.”
Protes Echa ketika kami sedang makan malam di salah satu cafe 24 jam yang sedang hits akhir-akhir ini, setelah 1 minggu lebih kami tidak bertemu karena jadwal kunjungan mendadak ku ke padang waktu itu.

“Setidaknya biarkan Mas minum atau makan dulu, princess.”

“oke.”

Maka tidak menunggu lama, makanan dan minuman yang kami pesan, sudah ludes kami habiskan dengan lahap.
Dan tidak menunggu waktu lebih lama lagi, Echa sudah menatapku tajam, menuntut jawaban, bahkan di saat aku masih menelan suapan terakhirku.

Setelah menegak minuman, aku bersendawa pelan, dan mulai menceritakan apa yang terjadi.

Flashback on:

“kamu mau apa, Arkan?”
Rindu tampak gugup karena aku memaksa turun dan hendak mengantarnya masuk ke dalam rumah.

“ini masih sore, Rindu, sepelit itu kamu nggak membiarkan aku mampir? Lagipula aku baru saja pulang dari Singapura, nggak pake istirahat langsung ke villa Vian. Gilanya aku langsung menarikmu pergi begitu saja. Dan 2 jam, aku nyetir sampai sini. Coba bayangkan, gimana capeknya aku.”
Dia menelan ludah, sambil bengong tampak berpikir apa yang harus dia lakukan mungkin tentang permintaanku ini.

“Kamu pikir aku akan berbuat apa, sampai kamu mikir lama sekali nggak membiarkan aku masuk. Jangan sampai kamu mikir, kalau capek ku cuman bohong-bohongan.”
protes ku ketika dia tak kunjung membuka pintu rumah.

“ehm... Ehm...”
di tengah kebingungan nya itu, aku merebut kunci rumahnya, dan masuk dengan paksa.

“mas.... “
teriaknya.

Seketika aku berhenti, dan menoleh cepat kearahnya. Rindu pun dengan cepat berhenti melangkah mendekatiku, ketika ku tatap tajam begitu.

“Ulangi...”

“apanya...”
dia mundur selangkah, sambil terbata berkata.

“panggil aku barusan, ulangi.....”
perintahku.

“Ma...s.... “

“ulangi. Lagi..”

“nggak, emang kenapa? Salah? Bukannya kamu memang 3 tahun lebih tua dari aku. Jadi aku nggak salah kan.”
Katanya tampak seolah tidak ingin terintimidasi olehku.

Aku melangkah cepat ke arahnya, dia tampak ingin mundur, tapi langkahku lebih cepat sampai. Aku tarik pinggangnya mendekat padaku. Tangannya membentur dadaku, menahan tubuhnya yang akan ku peluk.

Ku sentuh pipinya lembut. Tubuhnya menegang.
Ah...
Masih saja dia gugup begitu.

Tidak ada cara lain agar dia nyaman denganku, selain membuatnya terbiasa berdekatan atau disentuh olehku. Piciknya otakku.
Aku tertawa dalam hati.

“Yang bilang kamu salah itu siapa? Aku cuman mau bilang, mulai sekarang, panggil aku kaya tadi.”

“kenapa?”
tanyanya gugup.

“damn.. Shit, Rindu. Kamu senang banget ya buat hatiku deg degan nggak karuan. Aku suka Rindu. Aku suka panggilan itu keluar dari bibir mungilmu.”
Dia menelan ludah.

Dan...
Shit...
Sudah berapa kali aku mengumpat dalam hati, ketika aku tidak bisa lagi menahan diri setiap melihat bibir mungil itu.

Masih sangat berasa lembutnya, ketika tadi telah bersentuhan dengan bibirku. Maka, aku tidak bisa melawan hasrat ini, aku dekatkan lagi bibirku dengan bibirnya. Wajah Rindu kembali menegang. Tapi entah dia mendapat ide dari mana, membuatku berteriak sakit.

Love Mission ComplitedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang