Chapter 08

168 48 16
                                    

Seorang pemuda tengah berlari sekitar 2 kilometer. Ia pun memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Satu botol air mineral ia teguk hingga tersisa setengah. Rasa haus hilang sepenuhnya.

"Huh! Huh! Untuk kali ini sampai di sini dulu," ucap pemuda itu.

Erza duduk di bangku taman. Ia menatap langit cukup lama. "Apa yang kita bisa menghentikan teror ini?" gumamnya.

Satu jam yang lalu Erza, Lev serta Kensel berada di suatu kamar apartemen. Mereka membahas suatu hal yang penting.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya pemuda berambut putih, Lev. Ia menatap ke arah pemuda di sebelahnya.

Pemuda itu menbasuh wajahnya kasar. Ia berusaha merendam emosi yang masih menyelimuti hati.

"Aku ingin mengajakmu menyelidiki teror ini. Sudah tiga korban jiwa yang terbunuh. Dua teman kita lagi, tak tahu kabarnya," jawab Kensel.

Lev tersenyum kecut. Saat ini pikirannya tak bisa fokus. Ia butuh waktu sendiri, namun kedua temannya ini mengganggu.

"Kalau kau?" tanya Lev kepada pemuda berambut hitam.

"Hmm... Aku masih bingung. Kenapa ini semua terjadi kepada kita? Apalagi aku ini hanya pelajar yang mendapat beasiswa di sini," jawab Erza lirih. Ia pergi ke Jepang hanya untuk belajar dan meraih cita-cita.

Tetapi hal itu seakan sirna. Kemuncullan teror di sekolah, mungkin lebih tepatnya kelas 2F. Mendapat sebuah kutukan yang begitu mengerikan.

"Aku tahu apa yang kau rasakan. Lebih baik kau segera pulang dan mengistirahatkan beban pikiran saat ini," ucap Lev. Ia berniat mengusir sosok Erza secara halus. Tak mau menyinggung perasaannya.

"Hmm... Mungkin yang kau ucapkan ada benarnya. Baiklah, aku segera pamit. Terimakasih Lev...," jeda Erza.

Ia melirik ke arah Kensel sejenak. "Sampai jumpa Kensel," lanjutnya. Ia langsung berdiri, lalu menuju ke pintu dan keluar dari apartemen mewah milik Lev.

Kini hanya tersisa Lev dan Kensel saja di dalam. Suasana menjadi lebih hening.

"Aku tahu kau tak terlalu percaya dengan Erza, atau lebih tepatnya kepada semua murid di kelas 2F," ujar Lev.

Perkataan Lev tepat sasaran. Kensel mulai menganggumi keahlian tersembunyi pemuda di sebelahnya. Ia memang di pantas di sebut sosok 'detektif muda' berbakat.

Kensel tersenyum tipis. "Terima kasih," balasnya.

Setelah peninggalan Erza, keduanya mulai membicarakan hal serius. Tentang kejadian dua hari di sekolah, di saat mereka mengendap-endap masuk ke area sekolah. Percakapan terus berlanjut, hingga Kensel memutuskan untuk menginap.
.....

Erza tahu bahwa dirinya tak dipercayai oleh kedua temannya. Toh, dia juga kurang mempercayai mereka.

"Hmm... Sebaiknya bahas masalah ini sama Yurina atau Akemi nya," ucap Erza bingung.

Sekian menit memutuskan, akhirnya ia mempunyai satu jawaban. Erza langsung bangkit dari tempat duduk, lalu melanjutkan pulang ke rumah dengan berjalan kaki.
.
.
.
.

Sakashi Shuu. Pemuda yang sangat menyukai berjualan kacang. Ketika ia bosan dengan game di smartphone. Ia akan pergi ke taman kota dekat sekolah untuk berjualan.

Namun, semenjak tiga hari sekolah di liburkan. Ia hanya berdiam diri di rumah. Tidur, bangun, makan, mandi, main ponsel, nonton televisi, lalu tidur lagi.

"Huh! Sangat membosankan sekali!" gerutu Shuu.

Mungkin sekarang berat badannya naik satu kilogram. Ia merasa sangat bosan dan tak betah berlama-lama di rumah. Ia jadi merindukan kebersamaan dengan teman-teman sekelasnya di sekolah, terutama kapada Hoshi dan Ota.

"Ku tak menyangka kau pergi meninggalkan kehidupan di dunia ini cepat sekali kawan," gumam Shuu lirih.

Pertama kali ia mendengar berita kematian teman-temannya begitu sedih, takut dan terkejut. Lalu satu nama yaitu Hoshi pun turut menjadi korban.

"Jika saja aku menemukan siapa yang telah membunuhmu kawan. Aku tak segan-segan untuk membuat ia merasakan hal yang sama denganmu," ucap Shuu berjanji. Ia seorang lelaki yang takkan mengingkari janjinya.

Shuu berusaha menghilangkan kesedihan dengan bermain game online. Namun, selalu saja signal ponselnya tak pernah benar. Ia merasa tak ditakdirkan untuk memainkannya.

"Huh! Menyebalkan!" geram Shuu.

Ia memutuskan untuk tidur saja. Hari sudah menjelang larut malam dan besok ia harus masuk sekolah kembali dalam kondisi yang tak aman saat ini.
.
.
.
.

Keesokan harinya...

Semua murid SMA Subarashii mulai memasuki area sekolah kembali. Garis-garis kuning polisi masih berada di sana. Pihak keamanan pun turut ada.

Kegelisahan, kekhawatiran serta ketakutan menelusuk setiap hati semua murid. Mereka sebenarnya enggan untuk masuk, tetapi kewajiban sebagai pelajar harus dijalankan.

Salah satunya adalah Nana. Ia berjalan tak semangat seperti biasanya. Pandangan kosong dan wajah yang pucat menjadi pemandangan orang-orang yang melihatnya.

"Hiks... Nana rasanya tak kuat untuk menginjakan kaki di sekolah ini," ucap Nana lirih. Setetes airmata jatuh, tetapi langsung dihapus kasar olehnya.

Tiba-tiba ada sebuah tangan menepuk pelan pundak kiri Nana. Sontak saja hal itu membuat gadis kecil terkejut. Raut ekspresi ketakutan terpancar jelas di sana.

"Huahh!" teriak Nana cukup kencang.

"Kau bisa diam tidak!" seru seseorang yang berada tepat di belakangnya. Suaranya terdengar dingin dan memerintah.

Nana semakin takut. Ia pun memutuskan untuk diam. Setelah dianggap cukup baik. Seseorang yang menepuk pundak Nana membalikan tubuhnya cepat.

"Gen!" seru Nana. Tetapi ia langsung menutup mulutnya rapat menggunakan kedua tangan. Ia takut dengan tatapan tajam dan menindas dari pemuda itu.

"Kau ikut aku sekarang!" perintah Gen.

Nana mengelengkan kepala cepat. Ia menolak untuk ikut dengannya. Ia mengambil langkah mundur, agak menjaga jarak.

Gen melihat ke arah kanan dan kiri. Lingkungan di sekitarnya cukup sepi. Tanpa persetujuan Nana, ia menarik tangan mungil gadis itu kencang.

Nana yang awalnya memberontak kini hanya diam pasrah. Segala pikiran negatif terus menghantui pikirannya.

Tiba-tiba Gen berhenti. Otomatis Nana pun ikut berhenti. Ia melepaskan gengaman tangan Nana kasar.

"A-apa yang ingin kamu la-lakukan, Gen?" tanya Nana takut. Airmata sudah akan jatuh keluar dari sarangnya.

Gen menghela napas kasar. Tatapan tajamnya berubah menjadi lembut dalam sekejap. Ia melangkah pelan ke arah Nana. Kini jarak di antara keduanya begitu dekat.

"Roman dan beberapa teman lainnya mengajak kita untuk berkumpul di sini," jawab Gen berbisik. Suaranya begitu lembut nan menghanyutkan.

Nana menjadi lebih tenang. Airmata tak jadi memaksa untuk keluar. Ia melihat sekelilingnya. Ternyata di sana ada beberapa teman sekelasnya tengah berkumpul.

"Baiklah," balas Nana patuh.

Teror di SMA Subarashii (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang