Chapter 24

130 26 20
                                    

Ota POV

Aku baru saja tiba ke kafe milikku. Saat aku masuk ke dalam, kafe terlihat sepi. Tak ada satupun pengunjung yang datang.

Heran. Bingung. Itulah yang aku rasakan saat ini. Aku berjalan mendekati meja kasir. Di sana berdiri seorang pria dewasa.

"Hei, Kenapa kafe hari ini sepi?" tanyaku.

Pria dewasa itu agak terkejut atas kehadiran. Bukannya menjawab, ia malah menundukan kepala.

"Jawab aku!" benakku reflek.

"I-itu...,"

"Tadi ada temanmu yang datang kemari. Ia membuat keributan dan menyebar kebohongan," sahut pemuda memakai kacamata. Ia duduk di pojok kafe.

Aku menatap tajam pemuda berkacamata. Aku teringat salah satu wajah adik kelas.

"Aku Joe. Aku adalah adik tiri Akeno," ucap Joe memperkenalkan diri.

"Hmm... Apa yang kau katakan benar?" tanyaku.

Joe mengangukan kepala kecil. Ia terlihat sangat angkuh. Aku pun mulai sedikit tertarik. Ada sesuatu yang ingin ia utarakan.

"Sebaiknya kita bicara di dalam saja," ajakku. Aku menatap ke para karyawan kafe.

"Kalian rapihkan kafe, lalu boleh pulang," lanjutku. Para karyawan tersenyum kecil. Mereka antusias merapikan kekacauan di dalam kafe.

Saat ini Aku dan Joe berada di dalam ruangan pribadi milikku. Aku mempersilahkan Joe untuk duduk. Aku juga menyiapkan beberapa cemilan dan teh hangat.

"Terimakasih atas sajiannya. Tetapi aku takkan menyentuhnya," ucap Joe. Aku menatap bingung ke arahnya. Ia terlihat menyeringai sangat tipis.

Deg!

"Ah! Jadi kau sudah tahu rahasiaku," ucapku tersenyum.

Joe menyeringai semakin lebar. Ia mengangukan kepala kecil.

"Lalu?" tanyaku. Aku menjadi semakin tertarik padanya.

"Hmm... Kita bahas masalah kafemu dulu," jawab Joe. Ia berdiri, melihat beberapa bingkai foto yang terpajang di dinding.

Aku diam mendengarkan. Joe pemuda berkacamata yang terlihat angkuh namun menawan. Itu kesimpulan saat pertama kali melihatnya. Bahkan aku sampai ingin mengajak dirinya untuk berbisnis bersama.

"Kau masih mendengarkanku?" tanya Joe. Ah! Sepertinya aku tadi melamun.

"Lanjutkan," balasku canggung.

"Lev!" ucap Joe.

Aku terkejut. Mengapa nama pemuda brengsek itu disebutkan? Apa dia yang menyebabkan kekacauan di kafe?

"Dugaanmu benar. Dialah pelaku kekacauan di kafe milikmu," tebak Joe. Ternyata ia mampu mengamati tingkah lakukan diriku.

Brakk!!

Aku memukul keras meja kerjaku. Rasa kesal dan amarah berkumpul menjadi satu.

"Dia sudah mulai terang-terangan menantangku!"

Joe mengamati sikapku. Aku tak terlalu peduli. Kulihat ia berjalan mendekati diriku.

"Bagaimana kalau kita berkerja sama untuk menghancurkan dirinya?" tanya Joe.

Ah, penawaran yang sangat bagus. "Setuju! Apa kau memiliki rencana?"

Joe mendekati diriku. Ia membisikan sesuatu kepadaku. Ah! Rasanya geli sekali. Salah satu tangannya memeluk pinggangku.

"Oke! Aku setuju dengan rencanamu!" seruku.

Joe tersenyum tipis. Ia mencium pipiku sekilas. Inikah namanya perasaan 'cinta'.

"Ehm,"

Aku mengambil jarak dengan dirinya. Dadaku serasa ingin meledak, berdebar tak karuan. Mungkin wajahku sudah memerah sempurna.

Sial! Aku seharusnya yang membuat dirinya seperti ini, bukan diriku. Namun, tak apalah.

"Ah iya! Aku punya kenalan seseorang yang menjual beberapa organ dan darah segar untuk menu makanan barumu," ucap Joe tenang.

"Wah... Terimakasih banyak. Nanti akan kubuatkan hidangan spesial untukmu. Tenang saja bahan-bahan kali murni seperti di luar sana," sahutku. Kulihat Joe sempat ingin protes.

"Oke," jawab Joe tenang. Kami pun kembali berbincang-bincang. Aku merasa kami sangat cocok.

OTA POV End...
.
.
.
.

Erza POV

Perkenalkan namaku Erza Junizar. Kalian bisa memanggil diriku Erza. Aku ini asli orang Indonesia.

Kalian pasti bertanya kenapa diriku bisa tinggal dan bersekolah di Jepang? Hmm... Kasih tahu tidak ya...

Aku mendapatkan sebuah beasiswa di Jepang. Hanya dua orang yang terpilih dari sepuluh negara, diriku dan salah satunya Yurina.

Aku ingin menceritakan sebuah hobi menarik. Sebenarnya aku terpilih sebagai murid beasiswa karena... Aku memiliki sebuah hobi yang menarik. Hobiku adalah melukis. Pasti kalian berpikir bahwa melukis terlihat gampang dan mudah. Bahkan anak TK saja bisa melukis.

Namun, untuk diriku berbeda. Aku melukis menggunakan sebuah bahan yang mungkin 'jarang' di pakai oleh orang lain. Kalian mau tahu tidak?

Baiklah, akan kuberitahukan satu rahasiaku. Tapi... Kalian jangan bilang siapa-siapa ya. Janji!

Aku melukis menggunakan bahan cat yang berasal dari darah manusia. Pasti kalian berpikiran bahwa hal itu menjijikan. Aku menganggap ya adalah maha karya yang luar biasa.

Aku tidak memilih sembarang darah. Aku mencari darah segar dari wanita yang masih perawan.

Salah satunya, aku telah membunuh teman sekelasku hanya untuk mengambil darahnya. Sebuah karya yang memukau memang harus mengorbakan segala cara.

"Aku... membunuh Emili,"

"Hehehe...,"

Jangan bilang dengan Hide ya. Aku tahu kalau dia sangat menyukai Emili. Tetapi aku memilih dia, karena menurutku dia sempurna dan masih perawan.

Aku membunuh Emili dengan menabrak menggunakan mobil. Saat mayatnya dipindahkan ke kamar jenazah. Di situlah aku beraksi. Aku sangat menyukai setiap darah yang dimiliki Emili. Sebuah karya indah pun berhasil aku buat dan terjual hingga ratusan juga.

"Terimakasih Emili,"

Seperti malam ini. Aku tengah mencari seorang gadis perawan dan tak lama aku menemukannya. Ia seorag gadis bertubuh kecil dan ia tengah memegang sebuah gunting yang telah berlumuran darah.

"Ah! Kau Nana!" seruku.

Nana, gadis kecil itu menolehkan kepala. Ia tak terkejut dengan kehadiranku.

"Jangan berpikir kau bisa membunuhku!" seru Nana menyeringai kecil. Ia mengacungkan gunting berukuran cukup besar ke arahku.

"Hahaha... Maaf saja, yang kutemukan adalah dirimu. Jadi, semoga kau bersedia menjadi penyumbang darah milikku," ucapku. Aku mengeluarkan sebuah kater dari balik saku jaket.

Kami berdua saling bertatapan, hingga sebuah tembakan berhasil menghentikan. Aku dan Nana melirik ke atap sebuah rumah bersantai tiga.

Di sana berdiri seorang pemuda yang wajahnya tertutup oleh topeng. Ia juga membawa sebuah revolver di tangan kanan.

"Ah... Ternyata tembakanku meleset," ujar pemuda itu.

"Tch! Ada penganggu rupanya," kesalku.

"Hmm... Sepertinya kita harus berkerja sama untuk menghentikannya," ucap Nana.

Mau tak mau aku menyetujui ajakan darinya. Sepertinya pertarungan kali ini cukup sulit. Aku sangat mengetahui siapa sosok di balik topeng itu.

Dialah orang yang kami cari... Salah satu murid kelas 2F.

Erza POV End...
.........

Teror di SMA Subarashii (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang