Fourteen

237 14 3
                                    

"Abel. Bel, lo gak papa?" Keira mengguncang pelan tubuh Abel yang masih terdiam. Setelah itu, Abel tersadar dari lamunannya.

"Bel, gua minta maaf banget gak ngasih tau ini sama lo." Vana berujar.

"Lebih tepatnya kita bertiga, Bel." Stella menambahkan.

"Tadi pas di kafe gua mau cerita. Tapi, keburu dia dateng." Keira menjelaskan.

Abel menatap ketiga temannya itu. Di sana Abel dapat melihat raut wajah penyesalan sahabat sahabatnya. Jujur saja, Abel sedikit kecewa karena hanya ia saja yang tidak mengetahui semua itu.

Namun, seketika Abel tersadar kalau yang dilakukan para sahabatnya itu demi kebaikan dirinya.

Demi melindungi Abel.

"Hei hei. Kalian jangan nangis dong." Abel tersentak saat melihat mata ketiga sahabatnya mulai berkaca kaca. Terlebih lagi Keira sudah mengeluarkan sebulir air mata.

Keira memang paling tidak ingin membuat sahabatnya kecewa.

"Ihh.. Siapa suruh nangis sih." Abel mengambil tissue yang terletak di nakas, lalu ia memberikan kepada para sahabatnya.

"Abisnya, gua kan takut lu marah, Bel." Keira menghapus air matanya dengan tissue.

"Ulululu.." Respon Abel.

"Bel, lo gak marah sama kita?" Stella bertanya. Ia merasa sedikit heran dengan respon Abel.

"Yahh.. Enggak sih. Ngapain juga gua marah. Udah terjadi juga kan?" Abel kemudian menghela nafasnya. Sungguh, perasaan Keira, Vana dan Stella saat ini menjadi lebih tenang.

"Bel. Sekarang gua gak bakal ambil keputusan sendiri. Semuanya tergantung lo. Lo mau ikutin permainan Jihan apa enggak." Zivana berbicara.

"Tunggu, gua lupa deh. Jihan itu yang anak kelas sebelah ya? Dia adeknya Diego? Kok gua baru tau." Mendengar ucapan Abel, teman temannya itu berdecak kesal.

"Beda lah Abel. Kalau yang pernag ribut sama gua tuh, Pake huruf 'Z' sedangkan adeknya Diego pake huruf 'J' lagi pula adeknya Diego mah adek kelas" Vana menjelaskan dengan sedikit menahan sabar.

Karena jujur, jika membicarakan salah satu rivalnya itu membuat Vana ingin mengumpat saja.

"Ohh iya? Gua gak inget muka adeknya Diego sih. Jadinya gak tau."

"Bel. Ternyata lo udah beneran lupain Diego ya? Sampe muka adeknya aja lo lupa." Keira menatap Abel dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Ngapain harus di inget inget." Abel berbicara dengan nada santai.

"Kalau lo tau dari awal. Mungkin gak sih lo gak bakalan kayak sekarang?" Stella bertanya dengan penasaran. Namun tetap, ia masih menggunakan nada yang santai.

"Gak juga. Gua bakalan tetep sama aja." Jawab Abel cuek.

"Yaudah. Sekarang jawab dulu pertanyaan gua yang awal. Jadinya lo mau gimana?" Zivana kembali mengarahkan Abel pada pertanyaan awalnya.

"Hmm.. Gua gak mau ngikutin permainan Jihan. Lagian, mana sudi gua pura pura jadi pacarnya Diego." Putus Abel.

"Tapi Bel, lo tau kan sikap Diego gimana pas dia jadi pacar lo?" Keira mengingat kan Abel pada satu hal.

"Bahkan, gua gak mau nginget itu lagi." Abel menutup wajahnya dengan telapak tangan. Kenangan itu, terlalu buruk untuk Abel ingat.

"Dia se posesif itu sama lo, Bel. Bahkan, kita aja yang sahabat lo gak boleh deket deket. Disuruh menjauh dari lo." Stella membantu Abel mengingatkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Black TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang