#11. I Found You (Kim Seokjin)

532 72 14
                                        

Hujan.

Aku berdiri termenung di bawah atap sebuah minimarket. Menatap ke arah jalanan yang dibasahi oleh rintik-rintik hujan. Hujan di musim dingin memang sangat dingin. Padahal aku berharap ada hujan salju di awal musim dingin ini.

Kueratkan hoodie biru muda di tubuhku. Udara yang dingin membuatku bersin berkali-kali. Sepertinya aku akan terkena flu.

Mataku melihat seorang lelaki yang sedang dikerubungi oleh beberapa orang. Mereka tampak sedang memukuli lelaki itu. Karena aku seorang pembela kebenaran—sepertinya begitu, aku pun tidak yakin—aku segera berlari ke arah mereka. Aku tidak peduli lagi dengan hujan yang membasahi tubuhku.

"Ya! Kalian gila, ya?!" seruku tanpa takut.

Mereka melihat ke arahku, kecuali lelaki yang dipukuli tadi. Tatapan mereka meremehkan aku.

"Kau berani pada kami? Padahal kau cantik, tetapi tingkahmu membuat kami muak," ucap salah satu dari mereka. Aku menduga jika dia adalah ketuanya. Karena tiga orang yang lainnya mengikuti tindakannya.

Aku memutar bola mataku. "Kalian pikir aku takut? Hoho, tentu saja tidak!" Aku mengingat-ingat cara berantem dengan adik laki-lakiku. Sepertinya akan berguna untuk saat ini.

Mereka maju ke arahku. Tubuhku bergerak dengan sendirinya. Bahkan, aku merasa mendengar suara 'krek' saat aku memutar salah satu tangan dari mereka. Sepertinya tangannya patah, tapi aku merasa puas saat melakukannya—tolong jangan anggap aku psikopat, oke?

Setelah beberapa saat, mereka berlari dan kabur dariku. Benar-benar memalukan.

Aku segera menghampiri lelaki tadi. Wajahnya tampak terluka namun ketampanannya tidak tertutup sama sekali.

"Neo gwaenchana?" tanyaku khawatir.

"Tidak. Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menolongku," jawabnya sambil berusaha untuk berdiri.

Aku menggeleng kuat-kuat. "Kau tidak baik-baik saja. Tunggu di sini," ucapku. Lalu aku berlari ke arah minimarket dan membeli plester, obat, dan kapas.

Saat aku kembali, ia sedang duduk di salah satu kursi taman depan minimarket. Aku menghampirinya lalu duduk di sebelahnya.

Tanganku bergerak cekatan mengobati lukanya. Setelah aku membersihkan lukanya, aku menutupnya dengan plester. Ini adalah pertolongan pertama yang selalu kulakukan saat terluka. Wajar saja, aku memang sering terluka karena sifatku yang terlalu barbar.

"Gomawo," ucapnya sambil tersenyum tipis.

Aku menatapnya, lalu tersenyum. "Sama-sama. Siapa namamu?"

"Namaku Jin, Kim Seokjin. Kau?"

"Namaku (Yn). Senang bertemu denganmu." Aku tersenyum lebar padanya.

"Sepertinya aku yang harus berkata itu," ia terkekeh. "Kau tidak ingin pulang? Ini sudah malam dan hujannya sudah berhenti sejak tadi."

"Aku ingin pulang sekarang. Bagaimana denganmu?" tanyaku balik.

"Aku akan mengantarmu pulang. Bagaimana?" tawarnya.

"Tentu, jika kau tak keberatan," jawabku.

Kami berjalan beriringan menuju rumahku.

***

Setelah sepuluh menit berjalan kaki, kami sampai di rumahku. Rumahku dalam keadaan gelap. Hanya lampu di pintu depan saja yang menyala. Seperti rumah hantu saja.

"Ini rumahmu?"

"Ya, ini rumahku."

"Gelap sekali. Apa keluargamu sudah tidur?" Jin menoleh padaku.

"Aku tidak yakin begitu. Mereka seperti kelelawar yang dikenal sebagai hewan nokturnal. Tidur di siang hari, beraktivitas di malam hari," jawabku serius.

Jin tertawa. "Kau sangat lucu, (Yn)."

Apa kau mau tahu bagaimana ekspresiku saat melihat tawanya? Ya, sesuai yang kau bayangkan.

"(Yn)? Hei, kau melamun? Apa yang kau pikirkan?" Jin melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

"Ani, tidak ada." Aku membuka pagar rumahku. "Aku masuk ke dalam dulu. Kau ingin langsung pulang?"

"Ya, tentu saja."

"Hati-hati di jalan. Jika ada yang berani memukulmu, hajar saja. Seperti aku menghajar para manusia laknat tadi. Arrasseo?"

Lagi-lagi Jin tertawa. Kali ini ia tertawa sampai memegangi perutnya. "Astaga. Kau sangat lucu, (Yn)! Sepertinya aku akan awet muda jika terus bersamamu."

"Eh? Apa aku begitu?" tanyaku tidak yakin.

Jin tidak menjawab pertanyaanku. Ia tersenyum lalu berlari pergi.

"Apa aku selucu itu?" gumamku sangsi.

Aku tidak mau memusingkannya lagi, jadi aku melangkah masuk ke dalam rumahku. Saat aku membuka pintu, makhluk hidup yang paling tidak ingin kulihat berada di balik pintu. Adik laki-lakiku.

"Mwo?" tanyaku jengkel karena ia terus memperhatikan setiap hal yang kulakukan. Aku duduk di sofa lalu menyilangkan kaki kananku ke atas kaki kiriku.

"Kau dari mana saja?" tanyanya dengan nada mengintimidasi. Matanya memicing, duduknya tegak di hadapanku, tangannya terlipat di dada. Aku yakin ia meniru gerakan itu dari drama di televisi yang tak sengaja ditontonnya.

"Bukan urusanmu." Aku mengambil remote televisi dan berniat untuk menyalakannya. Namun, adik laknatku itu—sepertinya ini panggilan yang terlalu kasar—berdiri di depan televisi sehingga menghalangi sensor remote di tanganku.

"Ya! Minggir kau!" Aku membanting remote di tanganku, ke atas sofa tentunya. Karena aku tidak memiliki cukup uang untuk menggantinya jika rusak.

"Tidak sebelum kau menjawab pertanyaanku," ancamnya.

Sebenarnya, siapa kakaknya dan siapa adiknya, hah? Aku sendiri tidak yakin jika aku kakaknya adikku karena melihat tingkahnya saja ia sudah seperti kakakku. Oh astaga, bicara apa aku ini.

"Ne, ne! Aku dari minimarket dan habis menghajar tiga manusia laknat. Kau puas?" Aku menjawabnya karena aku sudah muak melihat tingkah adikku yang sangat berlebihan itu.

"Oh..."

Aku membelalakkan mataku lebar. Hanya itu jawabannya?! Astaga, aku bisa gila di sini.

"Aish, jinjja?! Hanya itu responmu? Apa kau tidak khawatir dengan kakak perempuanmu ini?!" protesku.

Ia menatapku datar. "Tidak. Kau sudah sering berantem, Noona. Kekuatanmu bahkan melebihi seorang pria," jawabnya santai.

"Aku tak peduli! Aku mau tidur!" Aku menghentakkan kakiku kesal sambil berjalan ke kamar. Di belakangku, aku mendengar suara kekehan adikku—yang sepertinya bukan adik kandungku.

Besok aku pindah rumah.

***

Aku tidak jadi pindah rumah.

Alasannya adalah aku tidak punya uang yang banyak. Aku bahkan tidak bisa membeli sebuah remote televisi, bagaimana aku akan bertahan hidup di dunia luar sana yang sangat kejam? Oke, aku sangat berlebihan.

Aku duduk di kursi meja rias. Menatap bayangan diriku sendiri. Aku berniat untuk menyisir, namun aku tidak dapat menemukan sisir berwarna violet milikku.

Pelakunya pasti hanya satu.

"LEE CHUNG HEE!!! KAU KE MANAKAN SISIRKU?!"

Setelah itu, hari sialku dimulai.

TBC

𝑨𝒎𝒐𝒖𝒓 ✧ 𝘉𝘛𝘚 𝘹 𝘠𝘰𝘶 (𝘖𝘯𝘦𝘴𝘩𝘰𝘰𝘵𝘴)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang