- Answer - (답)

623 69 1
                                    

    Malam ini dan malam-malam sebelumnya masih sama. Park Jimin kembali terjaga saat malam hari dan tidak membiarkan dirinya tidur dengan tenang sebelum masalahnya selesai. Pria itu memilih untuk duduk, meminum birnya lalu memikirkan masalahnya sepanjang malam. 

    Ia tidak bisa tenang, dan tidak akan pernah. 

    Pria ini tidak tahu berada dipihak siapa. Mendengar bentakan temannya, Vee, membuat dirinya harus memikirkan hal baru mengenai ayahnya dan Hyejin. Ia seolah tengah berada diatas seutas tali yang sedang terikat diantara dua jurang. Ia tidak bisa memilih harus bergerak kekiri atau kekanan, karena kedua pilihan itu akan sama-sama berujung kematian. Ia tidak bisa bergerak maju dengan mudah, sedangkan melangkah kebelakang adalah hal yang tidak mungkin.

     Park Jimin menunduk, merasa ingin menyerah namun tidak bisa. Kebingungan ini benar-benar menyiksanya. Pria itu mengepalkan tangannya, deretan giginya menggertak menahan teriakan frustasi yang ingin keluar. Ia benar-benar tidak menyangka akhirnya akan seperti ini. 

“Sudah kubilang jangan berfikir terlalu keras, kau menyiksa dirimu sendiri.”

     Jimin tersadar ketika mendengar suara serak yang khas itu mengusik telinganya. Ia mendongak dan melihat Vee yang sudah duduk disampingnya. “Kenapa kau disini?” Tanya Jimin dingin.

“Bagaimana aku bisa tidur jika kau terus gelisah seperti itu?” Jawab Vee seraya meminum kaleng bir yang baru saja ia ambil dari lemari pendingin.

Hyung.. Kau benar, aku tidak akan mengerti apa yang kau rasakan saat ini. “

“Kegelisahan yang tidak berakhir, kekesalan yang entah bagaimana, rasa frustasi yang tidak bisa diutarakan, rasa cinta yang membingungkan, dan keputusan yang belum juga ditetapkan.” Ucap Vee dengan tenang. 

Pria itu menoleh dan melihat Jimin yang berada disampingnya. “Aku memang tidak tahu bagaimana rasanya diposisimu.”

“Tapi setidaknya.. Hanya aku.. yang tidak bisa melihatmu menderita seperti ini. Cuma aku yang masih berada disampingmu, ketika semua orang yang kau sayangi tidak berada disisimu.”

      Jimin menarik nafas panjang dan membuangnya kasar. Tubuhnya perlahan ia sandarkan dipunggung sofa. Pria itu menatap langit-langit apartemen ini. “Terimakasih untuk semuanya, Vee.” Ucapnya tulus.

“Terimakasih..” 

      Vee tersenyum simpul mendengar Jimin mengatakan terimakasih padanya seperti ini. Terdengar sangat miris. Ingin sekali Vee mengasihaninya, namun ia tidak bisa melakukannya. Ketimbang rasa belas kasihan, Jimin lebih membutuhkan dukungan. 

“Cih, menyusahkan saja.” Gumam Vee seraya meminum birnya.

      Jimin melirik kearah temannya dan mengangkat satu alisnya. “Waegeurae?” Vee menoleh dengan tajam kearah Jimin. “Kau menyusahkan!” Jimin pun langsung duduk dengan posisi sempurna dan menunjuk dirinya sendiri. “Kau mengusirku?”

Ireohke ani-ya.” Ucap Vee sedikit geram. (Bukan seperti itu!)

“Oh ya, Bagaimana? Sudah tentukan pilihanmu?” Tanya Vee seraya menatap Jimin penuh harap.

    Pria itu terdiam sejenak, Jimin nampak sedikit bingung, antara ingin berkata jujur atau tidak. “Katakan saja.” Ucap Vee berusaha memberi keyakinan.

“Aku yakin kau tidak akan menyukainya.” Ucap Jimin yang sudah berpikiran negatif lebih dulu. 

“Dengan kau berkata seperti itu, aku tahu apa keputusanmu.” 

     Jimin langsung mendongak menatap wajah Vee. Rahang tegasnya begitu terlihat sangat mengagumkan dari sisi samping. Jimin menanti keputusan Vee sekarang. Ia ingin tahu akan berada dipihak mana orang ini. “Kau sudah tahu sekarang, lalu apa keputusanmu?” Kini giliran Jimin yang memberikan pertanyaan untuk Vee berpikir.

HOUSE OF CARD [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang