2: Telor Dadar

539 88 118
                                    

Kaylee

Kata orang, hidup harus dinikmati. Kata orang, hidup harus dibawa santai. Kata orang juga, hidup cuma sekali, jadi jangan disia-siain. Gue bisa aja nurutin semua kata orang itu. Tapi, kalau gue nurutin itu semua, gue jamin hidup gue bakalan berantakan. 

Gue nggak bisa hidup santai kayak di pantai, seperti kebanyakan anak-anak Jakarta lainnya. Dari kecil, gue udah dibiasakan untuk bekerja keras dan hidup hemat. Maklum, dulu Papa adalah seorang karyawan swasta biasa, yang gajinya nggak seberapa, dan Mama buka toko kelontong di rumah buat tambah-tambah uang bulanan. 

Dulu gue masih bisa menikmati masa sekolah gue dengan tenang, tanpa kepikiran cari duit gimana dan lain sebagainya. Tapi sekarang keadaannya udah beda. Papa udah pensiun dari pekerjaannya, jadi cuma Mama yang masih buka toko kelontong. Pemasukan kita jelas semakin berkurang. Mama dan Papa selalu pengin gue jadi pegawai bank setelah lulus kuliah, karena menurut mereka gaji dari pekerjaan tersebut sangat menjanjikan. Kalau hanya angan-angan, emang kayaknya gampang buat dapet kerjaan. Tapi, fakta di lapangan beda. Sampai sekarang, udah hampir 3 bulan lulus, gue belum juga dapet kerjaan.

Haha, kedengerannya gue ambisius banget, ya? Baru aja lulus 3 bulan, udah pengin cepet-cepet kerja. Bodo amat. Apa salahnya kalau gue pengin cepet-cepet jadi orang kaya? Iya, gue tuh punya cita-cita jadi orang kaya, makanya gue pengin cepet-cepet kerja biar gue punya uang untuk ditabung.

"Kay, kamu di mana?" Suara itu menggema di dalam rumah, membuat lamunan gue buyar.

Gue yang tadinya duduk bengong, sontak langsung mengucek-ucek mata dan berusaha mencari sumber suara.

"Di dapur, Mas!" Balas gue dengan sedikit berteriak, biar kedengeran.

Sosok itu pun menampakkan dirinya, ia kini bersender di daun pintu. Sambil menghela nafas, ia menggulung kemejanya sampai ke siku. 

"Naomi sekarang di mana?" Ia bertanya.

"Di kamar, Mas, lagi tidur siang dia," balas gue apa adanya.

Laki-laki itu mengangguk, tanda mengerti. "Saya kira dia ilang, abisnya tumben dia nggak ada suara," kemudian ia terkekeh.

"Mana mungkin ilang, Mas, kan ada saya," gue menunjuk diri sendiri dengan bangga.

Ada hening beberapa saat di antara kita. Namun, hal itu tidak bertahan lama, laki-laki di depan gue ini segera memecahkan keheningan. Ia bertanya, "Udah makan?"

"Udah, Mas."

"Yaaah," raut wajahnya mendadak berubah jadi kecewa. "Tadinya kalau belum mau saya ajak makan. Tapi, ya udah, deh. Nggak jadi."

Perasaan bersalah seketika langsung mendatangi gue. Gue harusnya tadi pura-pura nggak nolak. Tapi gimana, dong? Gue emang beneran udah makan siang dan masih kenyang sampai sekarang.

"Eh, anu," gue menggaruk tengkuk leher gue yang sebenernya nggak gatal. "Jadi nggak enak."

Laki-laki itu terkekeh, lalu mendekat beberapa langkah ke arah gue. Kedua bola matanya menatap gue dengan tatapan yang nggak pernah bisa gue mengerti. "Kenapa nggak enak?" Tanyanya.

"Ng—nggak apa-apa, Mas," sahut gue dengan cepat. "Kalau Mas Calum laper, saya masakin aja. Mau apa? Spaghetti, bakso, sayur asem atau—"

Pekat | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang