4: Celemek Peppa Pig

419 76 130
                                    

Calum

"Haaaah," gue menghela napas lega. "Akhirnya selesai juga berkas laknat ini!" Gue senang akhirnya gue bisa menyelesaikan pekerjaan gue yang menyebabkan gue harus stand by di kantor dari jam tujuh pagi sampai sekarang.

Gue meregangkan otot-otot tangan dan merebahkan badan ke badan sofa. Sambil mengatur napas, gue juga mengarahkan pandangan lurus ke depan. Dari sini, gue bisa melihat langit yang semakin jingga, pertanda bahwa sore sudah datang. 

"Apa gue pulang sekarang aja, ya?" Gue pengin cepet-cepet pulang karena menurut gue nggak ada yang lebih menyenangkan selain pulang dengan keadaan langit sore Jakarta masih cerah.

Menyetujui ide gue sendiri, gue pun membereskan berkas-berkas yang berceceran di atas meja kerja dan sofa. Baru aja beberapa menit gue sibuk beres-beres, gue mendengar ada yang mengetuk pintu ruangan gue. 

"Masuk!" Seru gue, masih sambil beres-beres.

Gue masih enggan menoleh ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang. "Permisi, Pak Calum. Masih bisa minta tanda tangan berkas nggak, ya?" Tanya seseorang yang suaranya udah nggak asing di telinga gue.  

"Eh, Farah. Bisa, bisa. Mana berkasnya?" Balas gue pada sekretaris perusahaan yang sudah gue kenal, Farah.

Perempuan yang sudah sering gue repotkan dengan urusan surat menyurat dan segala keperluan yang lain ini segera menghampiri gue. Setelah ia berada di samping gue, ia menyodorkan map berwarna hijau tua seraya berkata, "Barusan ada surat masuk, Pak."

Pun gue menerima map tersebut dan melihat isinya. Hanya perlu beberapa menit untuk membaca surat-surat ini karena gue sudah sangat hafal dengan formatnya. Selesai membaca, gue meraih pulpen dari dalam saku kemeja gue dan menandatanganinya.

"Nih, udah. Makasih ya, Farah," gue menyerahkan map itu kembali pada Farah.

Farah mengangguk. "Sama-sama, Pak. Ummm, Bapak udah mau pulang?"

Gue mengangguk bersemangat. "Iya, kerjaan saya udah selesai semua. Mumpung bisa pulang cepet, pulang aja," jawab gue dengan riang.

Semua sudah terlihat rapi, kini saatnya gue pulang. Gue meraih tas berisi laptop dan jaket kulit gue yang masih tergantung rapi di sisi ruangan. Daritadi gue sibuk mondar-mandir, tapi Farah belum juga siap-siap pulang kayak gue.

"Kamu nggak pulang, Far?" Tanya gue.

"Ini saya mau pulang, Pak."

"Oke," gue mengangguk mengerti. "Kalau gitu, saya duluan."

"Pak Calum," Farah memanggil nama gue.

Refleks, gue menghentikan langkah dan menoleh ke belakang, melihat Farah. "Ya?"

"Hati-hati di jalan, Pak."

"Oh, siap. Kamu juga, hati-hati kalau mau pulang. Istirahat yang cukup juga." 

Lantas setelah itu, gue berlalu meninggalkan Farah dan ruangan gue. 

Gue masih mendengarkan suara John Mayer di dalam mobil. Perlahan, gue mulai merasakan hangatnya sinar matahari sore mulai menyentuh pergelangan tangan gue yang sibuk mengendalikan setir mobil. Rasanya suara John Mayer di lagu Slow Dancing In a Burning Room bisa meredakan segala beban yang ada di pundak gue.

Berhasil juga gue melewati kemacetan Jakarta di sore hari. Akhirnya, sekarang gue sampai di rumah. Gue memarkir mobil di garasi dan bergegas turun. Saat pertama kali memasuki rumah, gue langsung disambut heboh oleh kehadiran Naomi yang berlarian ke arah gue.

"Om Caluuuum!" Serunya, ia mempercepat kecepatan berlarinya dari jauh.

Buru-buru gue mendekat ke arahnya, supaya dia nggak terus berlarian atau bahkan jatuh, kemudian gue menangkapnya. Pun gue mengangkat tubuh mungil bocah kecil berusia tiga setengah tahun ini ke gendongan gue. 

Pekat | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang